Log in
Similar topics
Who is online?
In total there are 6 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 6 Guests None
Most users ever online was 313 on Sat Oct 05, 2024 9:26 pm
Search
Latest topics
» Absensi di siniby Kaz Sun Sep 03, 2023 9:49 pm
» [Revive the Forum]
by Kuro Usagi Fri Sep 04, 2015 12:37 am
» Um.. hi, I guess?
by Kuro Usagi Fri Sep 04, 2015 12:35 am
» Do You Have Sixth Sense?
by Kurome Fri Jun 26, 2015 3:45 pm
» Website favorit kalian untuk baca komik online?
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 7:57 pm
» Biarkan Mata, Otak, Keyboard mengaum saat engkau mengetes mereka. xD~
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 7:56 pm
» Imaginary World
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 4:59 pm
» Komentar member di atas^
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 4:37 pm
» If you wish at fallen star, it will come true. Is that true?
by Phantomhive_Earl Sun Oct 27, 2013 3:56 pm
» Pengalaman Seram
by Phantomhive_Earl Sun Oct 27, 2013 12:48 pm
[omake] Once Upon in December (finished)
Page 1 of 1
[omake] Once Upon in December (finished)
Once Upon in December
Featuring:
Phoebe // Rheaffel Kharisteria
Arthem Seravine Einverd (NPC)
Title and Insert Song:
Once Upon in December (c) Anastasia
the Story at 1600's era
...
Kota Sabrie, Inggris
30 Desember 1623
Salju, hanya ada salju yang terlihat di mana-mana di kota yang tenang ini. Kota ini terlahir dari kepingan salju yang turun di bulan Desember yang damai. Seharusnya begitu, taman-taman yang indah seharusnya dipenuhi oleh anak-anak yang berlarian sambil saling mengerjar di sekitar tumpukan salju di sana.
Kini...
Kini tidak, tidak ada hamparan salju putih yang menyelimuti bulan Desember kelam itu. Tidak ada lagi tawa anak-anak yang saling mengejar sambil melempar bola salju. Tidak ada lagi keluarga-keluarga yang menyalakan lampu dan membakar kayu di cerobong asap untuk memersiapkan acara tahun baru di rumah mereka.
Semuanya hancur, ya hancur... terlihat seperti sebuah kehancuran di mana bangunan runtuh, mayat bergelimpangan dan... tidak, sama sekali tidak ada aroma kehidupan.
...
Kemudian suara keletakan kaki kuda yang beruntun memecahkan suasana. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan sebenarnya, peperangan telah berakhir, atau sebenarnya baru saja dimulai. Sebuah perang besar meluluh-lantahkan semuanya, dan sayangnya semua itu baru dimulai.
Pemuda itu bernama Arthem Seravine Einverd, ia menaiki kuda hitamnya mengintari taman kota Sabrie yang berantakan. Satu lagi pintu ditemukan dan para Novaidon merebutnya dengan lantang, melakukan perlawanan di mana-mana, dan menghancurkan segalanya. Dan pria ini hanya seorang pemuda yang menyandang nama keluarga Einverd, satu dari empat keluarga besar lainnya. Ia bukan orang yang begitu penting, bukan petinggi keluarga, dan bukan kepala pasukan. Arthem hanya seseorang yang bisa saja berada di keluarga itu karena sebuah kecelakaan.
Tepatnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pemuda berbingkai violet ini. Gelas keunguannya selalu memancarkan keramahan, dan sedikit ketegasan jika perlu. Lebih pentingnya, kalian tidak akan pernah menyangka bahwa apa yang dilakukannya selalu memperjelas keadaan, setidaknya sesuatu di balik sesuatu. Tidak mengerti, coba lihat saja.
...
Sekali lagi Arthem mengintari area itu, jejak para Novaidon pasti masih berbekas di sana. Mereka selalu enggan memberi tahu di mana letak pintu tersebut, dan ujungnya pasti akan selalu menjadi bahan pemicu ledakan di masyarakat di mana ada satu-dua keluarga bangsawan yang bertengkar memperebutkan pintu-pintu tersebut.
Pintu apakah? Sejujurnya Arthem sendiri tidak begitu mengerti. Mereka menyebutnya sebagai Abyss, tempat tidak terjamah, dan selebihnya tidak ada informasi mengenai hal tersebut. Bahkan, Arthem tidak pernah menyangka bahwa hidupnya harus menjadi bagian dari skenario yang dibuat oleh para petinggi keluarganya.
Cerita mengunjungi tempat kejadian bentrokan hari itu selesai, sehingga tidak ada alasan bagi Arthem untuk tetap di sana. Ia menghentakkan kakinya, membuat si kuda hitam kembali masuk ke pelataran kediaman Einverd.
Baru saja satu langkah kaki berjalan untuk mengistirahatkan diri, tiba-tiba suasana mendadak genting. Kabar baru... sebuah kabar tentang pintu itu lagi. Bukan urusannya, tapi terpaksa bergerak karena seorang pelayan menyeretnya untuk ikut dalam kegentingan tersebut.
"Sebuah pintu ditemukan," pelayan tersebut berseru. Walau usianya sudah tua, ia terlihat bersemangat begitu berbicara tentang pintu neraka tersebut.
Arthem jelas terlihat tidak senang. Ia tidak ingin masalah tidurnya diganggu oleh masalah lain sejenis dengan pintu-pintu aneh. "Apa maksud Anda, pintu di mana?"
"Di kediaman keluarga ini," ucap si pria tua tanpa menghentikan geraknya.
... "Eh?" gerak Arthem sedikit terhenti di sini. Sebuah pintu di kediaman keluarga Einverd? Yang benar saja, bisa-bisa para Novaidon kembali ke sana dan segera merebutnya kan. Kelakuan mereka memang selalu seperti itu. Namun apa yang bisa dilakukannya, pemuda bergelas violet ini tetap melangkah maju bersama iring-iringan orang lainnya menuju pintu yang disebut.
...
Kelam?
Itulah kesan pertama yang akan kau dapat jika melihat apa yang terjadi di sini. Pintu... bukan lagi, dunia ini terasa kelam dan harus dilihat secara terbali. Semua orang... kebanyakan diam memandangi dari jarak yang jauh ketika pintu itu kembali terbuka.
"Jadi Arthem, inilah saatmu," sebuah suara mengagetkan langkah diam pemuda ini. Maksudnya, saat? Untuk? Beribu tanya terukir jelas di dalam benaknya, apa maksudnya? Apa maksud pria yang menjadi ayah tirinya ini?
Tanpa disadarinya, kemudian pria paruh baya ini menyeret Arthem jauh, dan seketika melemparkannya masuk ke dalam pintu terkutuk itu. Berharap tidak akan pernah kembali selamanya.
Dancing Queen, Painted Wings
Things I always remember...
And the Song, someone sing
Once upon in December...
Sejenak mengerlip di dalam kehampaan. Bau basah dan bunyi gemerincing angin memecahkan suasana, membangunkannya dari kehampaan, sekali lagi membuatnya membuka mata.
Someone hold me save and warm
Horses pra...
Suara itu terhenti. Suara nyanyian itu terhenti dan dengan mata bulat abunya memandangi sosok yang tengah terbaring di atas pangkuannya. "Anda tidak apa-apa?" suara bernada datar ini lagi-lagi mengagetkannya.
Tunggu, apa yang terjadi? Sebelumnya ya... sebelumnya ia berada di... ingatannya berkelit sesaat, kepalanya terasa sakit dan berusaha melihat situasi di sana dengan mengangkat badannya. Namun sebuah tangan menahan geraknya, mengelus pelan rambut ungu pekatnya. Siapa di sana? Jawaban itu belum terpecahkan.
Figure Dancing Gracefully
Across my Memory...
Far away, long ago
Glowing Dim as an Ember
...
.
.
Kembali memejamkan mata untuk sesaat. Suara itu kemudian menghilang dan berganti menjadi suasana yang lebih sendu. Selang beberapa saat kemudian pemuda ini sadar, membuka matanya dan langsung bangun terduduk. Mengerlip sejenak memerhatikan isi tempat itu...
-asing
"Anda tidak apa-apa?"
Suara itu lagi, siapa? Arthem membalikan wajahnya, mencari sang sumber suara. Dan akhirnya ia dapatkan seorang wanita muda yang tengah terduduk tenang dengan pancaran wajah datarnya. Mata yang bening seperti genangan air, dan rambut panjang kelabu seperti surai platina yang terhampar lembut di kepala mungilnya. Terus menanyakan hal yang sama, "Anda tidak apa-apa?"
Hal itu jelas membuat Arthem tercengang. Seingatnya tadi ia terjatuh... ke manakah ia jatuh? Bukannya jika ia tempat itu seperti yang kebanyakan orang maka seharusnya disebut sebagai 'neraka' bukan tempat aneh dengan seorang bidadari di hadapannya yang lebih identik dengan sebutan 'surga'?
... selang beberapa detik menikmati keindahan sesaat akhirnya Arthem tersadar lagi. "Oh ya, tidak apa kok... ahaha aku baik-baik saja," keadaan ini jelas membuatnya tambah salah tingkah.
Nona putih itu kemudian mengancungkan tangannya, menunjuk sesuatu pada diri Arthem. "Eh kenapa? Ada yang salah denganku?" Oh ia jelas tidak mau berkat masuk ke dunia ini dirinya menjadi tua atau jelek.
Tapi rupanya bukan hal itu yang dimaksudkan. "Kepala Anda berdarah tuan," ucap nona ini tenang dan sangat datar, tidak beremosi.
Ngomong-ngomong apa yang ia katakan tadi berdarah? Eh?! Tidak sadar karena terlalu banyak salah tingkah, kemudian Arthem meraba pelipisnya, benar saja! Tangannya mendadak menjadi merah begitu dan mendadak pula wajahnya memucat. Oh gawat, ia benar-benar terluka.
...
Dan kemudian jika ditanyakan, percayakah kalian pada TAKDIR? Maka jawabannya adalah, inilah takdir itu.
Bisa dibilang pertemuan itu adalah penentuan bagaimana tuan muda ini bergerak untuk melanjutkan hari-harinya. Setelah pertolongan singkat dari sang nona putih-putih ini dan percakapan singkat lainnya, barulah Arthem sadar bahwa tempat ini tidak lain dan tidak bukan adalah Abyss.
Dari sekian minimnya kata-kata yang nona ini ucapkan, hanya ada satu baris kalimat yang terus terngiang di dalam benak Arthem.
"Saya berikan Anda kekuatan, dan Anda bawa saya keluar dari sini."
Dan itu adalah awal dari beragam kontrak yang terjadi di antara dirinya dan satu sosok yang kini bersamanya bukan lagi seorang wanita seperti halnya ketika mereka bertemu. Sebutlah ia sebagai CHAIN, dan kini Arthem, sebutlah dirimu sebagai kontraktornya. Mengikat sebuah perjanjian di mana kau dapatkan kekuatannya dan kudapatkan hakku.
-simple
...
"Aku tanya siapa namamu?"
Keduanya hanya rehat sebentar, sudah 2 hari rupanya terperangkap di sana dan 2 hari pula sejak kontrak perjanjian itu. Chain berwajah datar ini jarang sekali berbicara, ia hanya bertanya apakah Anda tidak apa-apa atau ada yang Anda perlukan. Benar-benar memiliki jiwa pelayan sejati, Arthem tidak habis pikir kenapa si nona manis satu ini mau-maunya memberikan kekuatan gaibnya pada seorang kontraktor amatiran seperti si rambut ungu ini.
Sekali lagi, "Kau punya nama kan nona?" kali ini agak memaksa namun masih di dalam batas kewajaran. Hey mereka berbeda jenis, bahkan si manis satu ini dapat berubah menjadi seekor burung phoenix bersurai emas dengan kekuatan yang... aneh rasanya.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya ia memberikan reaksi, sebuah gelengan kepala. Maksudnya tidak? Eh... bahkan Arthem tidak percaya ada bidadari tak bernama. Masak ia mau dipanggil dengan nama Nona Phoenix yang manis? Bisa-bisa simanis satu ini mengamuk padanya.
"Ah... masak sih?" agak tidak percaya. Yah memang hidup mereka baru dua hari bersama, tapi bukannya dengan kontrak itu berarti mereka mengikat hidup selamanya?
Dari pertanyaan itu hanya terjawab sebuah anggukan, mungkin artinya YA. Entah mengapa terkadang Arthem merasa geram, kenapa sedikitnya ia tidak berbicara saja sih, memangnya perlu bayar kalau harus berbicara saja.
Kemudian keadaan hening, hanya ada suara-suara tidak jelas. Sebentar lagi mungkin para makhluk aneh yang kelaparan akan menghampiri mereka, dan sampai saat itu nona putih-putih ini tidak akan berbicara sama sekali.
... sampai kemudian mulut kecilnya terbuka. Walau yah, agak sedikit ragu, akhirnya ia mengatakan hal ini. "Anda saja yang memberikan saya nama," ucapan ringan namun kemudian sempat membuat Arthem terkekeh.
Ia tidak tahu bahwa nona bersayap satu ini bisa meminta sesuatu. Padahal pribadinya jelas introverted dan ia kira akan sulit bergaul dengan seseorang yang seperti ini. "Hmp..." sambil menahan tawa kemudian Arthem memerhatikan wajah datar gadis di sampingnya. "Oh oke... aku tidak berniat menertawaimu, tapi bukankah itu aneh jika meminta 'nama' pada seseorang yang baru dikenal beberapa hari yang lalu?"
Coba lihat, wajahnya berubah merah saat ditanya seperti itu. Selain aneh dan sangat pendiam ternyata dia lucu juga. Lagi-lagi pikiran jahil melintas di benak Arthem, sudah lama ia tidak mengapresiasikan dirinya sebebas ini. Bisa dibilang tempat ini BURUK tapi di balik semua itu ia bisa melihat sisi baiknya.
"Phoebe," panggilnya. "Itu namamu, artinya sama dengan namaku," ucap Arthem sembari mengeluarkan senyum andalannya.
Ia lalu menyeringai lebih pelan sembari mengalihkan pandangan ke langit hitam tak berporos itu. "Nama Arthem diambil dari penggalan nama Artemis, biasanya digunakan oleh orang Rusia sebagai nama laki-laki. Dan Phoebe adalah nama lain yang biasa digunakan sang dewi," penjelasan panjang darinya.
Dari orang yang membentuk hidupnya sekaligus menghancurkannya.
.
.
Sekali lagi Rhea termenung di dalam lamunannya, ia tidak bisa tidur. Mengapit bantal di antara kaki dan dadanya, bersenandung kembali sembari melihat langit. Bukan lagi langit pekat tak berporos, tapi langit hitam yang ditaburi bintang.
Far away, long ago
Glowing Dim as an Ember
Things my Heart used to know
Things it yearns to remember...
And the Song, Someone Sings
Once upon in December
.
.
-kapan bisa mengingatnya lagi?
________________________________________________________________________
Yay first chapter Finished :3
Arthem Seravine Einverd itu kakek buyutnya Shein (OMG Rhea tua >...<!)
bayangin Arthem, liat ava-siggy saya :p entah kenapa kok mirip Dark ya
chapter 1 ini cerita asal-usul ketemunya
chapter-chapter selanjutnya akan membuka rahasia yang lain
m(_ _)m
Thanks for reading
(c) Rheaffel
Featuring:
Phoebe // Rheaffel Kharisteria
Arthem Seravine Einverd (NPC)
Title and Insert Song:
Once Upon in December (c) Anastasia
the Story at 1600's era
...
Kota Sabrie, Inggris
30 Desember 1623
Salju, hanya ada salju yang terlihat di mana-mana di kota yang tenang ini. Kota ini terlahir dari kepingan salju yang turun di bulan Desember yang damai. Seharusnya begitu, taman-taman yang indah seharusnya dipenuhi oleh anak-anak yang berlarian sambil saling mengerjar di sekitar tumpukan salju di sana.
Kini...
Kini tidak, tidak ada hamparan salju putih yang menyelimuti bulan Desember kelam itu. Tidak ada lagi tawa anak-anak yang saling mengejar sambil melempar bola salju. Tidak ada lagi keluarga-keluarga yang menyalakan lampu dan membakar kayu di cerobong asap untuk memersiapkan acara tahun baru di rumah mereka.
Semuanya hancur, ya hancur... terlihat seperti sebuah kehancuran di mana bangunan runtuh, mayat bergelimpangan dan... tidak, sama sekali tidak ada aroma kehidupan.
...
Kemudian suara keletakan kaki kuda yang beruntun memecahkan suasana. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan sebenarnya, peperangan telah berakhir, atau sebenarnya baru saja dimulai. Sebuah perang besar meluluh-lantahkan semuanya, dan sayangnya semua itu baru dimulai.
Pemuda itu bernama Arthem Seravine Einverd, ia menaiki kuda hitamnya mengintari taman kota Sabrie yang berantakan. Satu lagi pintu ditemukan dan para Novaidon merebutnya dengan lantang, melakukan perlawanan di mana-mana, dan menghancurkan segalanya. Dan pria ini hanya seorang pemuda yang menyandang nama keluarga Einverd, satu dari empat keluarga besar lainnya. Ia bukan orang yang begitu penting, bukan petinggi keluarga, dan bukan kepala pasukan. Arthem hanya seseorang yang bisa saja berada di keluarga itu karena sebuah kecelakaan.
Tepatnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pemuda berbingkai violet ini. Gelas keunguannya selalu memancarkan keramahan, dan sedikit ketegasan jika perlu. Lebih pentingnya, kalian tidak akan pernah menyangka bahwa apa yang dilakukannya selalu memperjelas keadaan, setidaknya sesuatu di balik sesuatu. Tidak mengerti, coba lihat saja.
...
Sekali lagi Arthem mengintari area itu, jejak para Novaidon pasti masih berbekas di sana. Mereka selalu enggan memberi tahu di mana letak pintu tersebut, dan ujungnya pasti akan selalu menjadi bahan pemicu ledakan di masyarakat di mana ada satu-dua keluarga bangsawan yang bertengkar memperebutkan pintu-pintu tersebut.
Pintu apakah? Sejujurnya Arthem sendiri tidak begitu mengerti. Mereka menyebutnya sebagai Abyss, tempat tidak terjamah, dan selebihnya tidak ada informasi mengenai hal tersebut. Bahkan, Arthem tidak pernah menyangka bahwa hidupnya harus menjadi bagian dari skenario yang dibuat oleh para petinggi keluarganya.
Cerita mengunjungi tempat kejadian bentrokan hari itu selesai, sehingga tidak ada alasan bagi Arthem untuk tetap di sana. Ia menghentakkan kakinya, membuat si kuda hitam kembali masuk ke pelataran kediaman Einverd.
Baru saja satu langkah kaki berjalan untuk mengistirahatkan diri, tiba-tiba suasana mendadak genting. Kabar baru... sebuah kabar tentang pintu itu lagi. Bukan urusannya, tapi terpaksa bergerak karena seorang pelayan menyeretnya untuk ikut dalam kegentingan tersebut.
"Sebuah pintu ditemukan," pelayan tersebut berseru. Walau usianya sudah tua, ia terlihat bersemangat begitu berbicara tentang pintu neraka tersebut.
Arthem jelas terlihat tidak senang. Ia tidak ingin masalah tidurnya diganggu oleh masalah lain sejenis dengan pintu-pintu aneh. "Apa maksud Anda, pintu di mana?"
"Di kediaman keluarga ini," ucap si pria tua tanpa menghentikan geraknya.
... "Eh?" gerak Arthem sedikit terhenti di sini. Sebuah pintu di kediaman keluarga Einverd? Yang benar saja, bisa-bisa para Novaidon kembali ke sana dan segera merebutnya kan. Kelakuan mereka memang selalu seperti itu. Namun apa yang bisa dilakukannya, pemuda bergelas violet ini tetap melangkah maju bersama iring-iringan orang lainnya menuju pintu yang disebut.
...
Kelam?
Itulah kesan pertama yang akan kau dapat jika melihat apa yang terjadi di sini. Pintu... bukan lagi, dunia ini terasa kelam dan harus dilihat secara terbali. Semua orang... kebanyakan diam memandangi dari jarak yang jauh ketika pintu itu kembali terbuka.
"Jadi Arthem, inilah saatmu," sebuah suara mengagetkan langkah diam pemuda ini. Maksudnya, saat? Untuk? Beribu tanya terukir jelas di dalam benaknya, apa maksudnya? Apa maksud pria yang menjadi ayah tirinya ini?
Tanpa disadarinya, kemudian pria paruh baya ini menyeret Arthem jauh, dan seketika melemparkannya masuk ke dalam pintu terkutuk itu. Berharap tidak akan pernah kembali selamanya.
~::----------------------------------------------::~
Dancing Queen, Painted Wings
Things I always remember...
And the Song, someone sing
Once upon in December...
Sejenak mengerlip di dalam kehampaan. Bau basah dan bunyi gemerincing angin memecahkan suasana, membangunkannya dari kehampaan, sekali lagi membuatnya membuka mata.
Someone hold me save and warm
Horses pra...
Suara itu terhenti. Suara nyanyian itu terhenti dan dengan mata bulat abunya memandangi sosok yang tengah terbaring di atas pangkuannya. "Anda tidak apa-apa?" suara bernada datar ini lagi-lagi mengagetkannya.
Tunggu, apa yang terjadi? Sebelumnya ya... sebelumnya ia berada di... ingatannya berkelit sesaat, kepalanya terasa sakit dan berusaha melihat situasi di sana dengan mengangkat badannya. Namun sebuah tangan menahan geraknya, mengelus pelan rambut ungu pekatnya. Siapa di sana? Jawaban itu belum terpecahkan.
Figure Dancing Gracefully
Across my Memory...
Far away, long ago
Glowing Dim as an Ember
...
.
.
Kembali memejamkan mata untuk sesaat. Suara itu kemudian menghilang dan berganti menjadi suasana yang lebih sendu. Selang beberapa saat kemudian pemuda ini sadar, membuka matanya dan langsung bangun terduduk. Mengerlip sejenak memerhatikan isi tempat itu...
-asing
"Anda tidak apa-apa?"
Suara itu lagi, siapa? Arthem membalikan wajahnya, mencari sang sumber suara. Dan akhirnya ia dapatkan seorang wanita muda yang tengah terduduk tenang dengan pancaran wajah datarnya. Mata yang bening seperti genangan air, dan rambut panjang kelabu seperti surai platina yang terhampar lembut di kepala mungilnya. Terus menanyakan hal yang sama, "Anda tidak apa-apa?"
Hal itu jelas membuat Arthem tercengang. Seingatnya tadi ia terjatuh... ke manakah ia jatuh? Bukannya jika ia tempat itu seperti yang kebanyakan orang maka seharusnya disebut sebagai 'neraka' bukan tempat aneh dengan seorang bidadari di hadapannya yang lebih identik dengan sebutan 'surga'?
... selang beberapa detik menikmati keindahan sesaat akhirnya Arthem tersadar lagi. "Oh ya, tidak apa kok... ahaha aku baik-baik saja," keadaan ini jelas membuatnya tambah salah tingkah.
Nona putih itu kemudian mengancungkan tangannya, menunjuk sesuatu pada diri Arthem. "Eh kenapa? Ada yang salah denganku?" Oh ia jelas tidak mau berkat masuk ke dunia ini dirinya menjadi tua atau jelek.
Tapi rupanya bukan hal itu yang dimaksudkan. "Kepala Anda berdarah tuan," ucap nona ini tenang dan sangat datar, tidak beremosi.
Ngomong-ngomong apa yang ia katakan tadi berdarah? Eh?! Tidak sadar karena terlalu banyak salah tingkah, kemudian Arthem meraba pelipisnya, benar saja! Tangannya mendadak menjadi merah begitu dan mendadak pula wajahnya memucat. Oh gawat, ia benar-benar terluka.
...
Dan kemudian jika ditanyakan, percayakah kalian pada TAKDIR? Maka jawabannya adalah, inilah takdir itu.
~::----------------------------------------------::~
Bisa dibilang pertemuan itu adalah penentuan bagaimana tuan muda ini bergerak untuk melanjutkan hari-harinya. Setelah pertolongan singkat dari sang nona putih-putih ini dan percakapan singkat lainnya, barulah Arthem sadar bahwa tempat ini tidak lain dan tidak bukan adalah Abyss.
Dari sekian minimnya kata-kata yang nona ini ucapkan, hanya ada satu baris kalimat yang terus terngiang di dalam benak Arthem.
"Saya berikan Anda kekuatan, dan Anda bawa saya keluar dari sini."
Dan itu adalah awal dari beragam kontrak yang terjadi di antara dirinya dan satu sosok yang kini bersamanya bukan lagi seorang wanita seperti halnya ketika mereka bertemu. Sebutlah ia sebagai CHAIN, dan kini Arthem, sebutlah dirimu sebagai kontraktornya. Mengikat sebuah perjanjian di mana kau dapatkan kekuatannya dan kudapatkan hakku.
-simple
...
"Aku tanya siapa namamu?"
Keduanya hanya rehat sebentar, sudah 2 hari rupanya terperangkap di sana dan 2 hari pula sejak kontrak perjanjian itu. Chain berwajah datar ini jarang sekali berbicara, ia hanya bertanya apakah Anda tidak apa-apa atau ada yang Anda perlukan. Benar-benar memiliki jiwa pelayan sejati, Arthem tidak habis pikir kenapa si nona manis satu ini mau-maunya memberikan kekuatan gaibnya pada seorang kontraktor amatiran seperti si rambut ungu ini.
Sekali lagi, "Kau punya nama kan nona?" kali ini agak memaksa namun masih di dalam batas kewajaran. Hey mereka berbeda jenis, bahkan si manis satu ini dapat berubah menjadi seekor burung phoenix bersurai emas dengan kekuatan yang... aneh rasanya.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya ia memberikan reaksi, sebuah gelengan kepala. Maksudnya tidak? Eh... bahkan Arthem tidak percaya ada bidadari tak bernama. Masak ia mau dipanggil dengan nama Nona Phoenix yang manis? Bisa-bisa simanis satu ini mengamuk padanya.
"Ah... masak sih?" agak tidak percaya. Yah memang hidup mereka baru dua hari bersama, tapi bukannya dengan kontrak itu berarti mereka mengikat hidup selamanya?
Dari pertanyaan itu hanya terjawab sebuah anggukan, mungkin artinya YA. Entah mengapa terkadang Arthem merasa geram, kenapa sedikitnya ia tidak berbicara saja sih, memangnya perlu bayar kalau harus berbicara saja.
Kemudian keadaan hening, hanya ada suara-suara tidak jelas. Sebentar lagi mungkin para makhluk aneh yang kelaparan akan menghampiri mereka, dan sampai saat itu nona putih-putih ini tidak akan berbicara sama sekali.
... sampai kemudian mulut kecilnya terbuka. Walau yah, agak sedikit ragu, akhirnya ia mengatakan hal ini. "Anda saja yang memberikan saya nama," ucapan ringan namun kemudian sempat membuat Arthem terkekeh.
Ia tidak tahu bahwa nona bersayap satu ini bisa meminta sesuatu. Padahal pribadinya jelas introverted dan ia kira akan sulit bergaul dengan seseorang yang seperti ini. "Hmp..." sambil menahan tawa kemudian Arthem memerhatikan wajah datar gadis di sampingnya. "Oh oke... aku tidak berniat menertawaimu, tapi bukankah itu aneh jika meminta 'nama' pada seseorang yang baru dikenal beberapa hari yang lalu?"
Coba lihat, wajahnya berubah merah saat ditanya seperti itu. Selain aneh dan sangat pendiam ternyata dia lucu juga. Lagi-lagi pikiran jahil melintas di benak Arthem, sudah lama ia tidak mengapresiasikan dirinya sebebas ini. Bisa dibilang tempat ini BURUK tapi di balik semua itu ia bisa melihat sisi baiknya.
"Phoebe," panggilnya. "Itu namamu, artinya sama dengan namaku," ucap Arthem sembari mengeluarkan senyum andalannya.
Ia lalu menyeringai lebih pelan sembari mengalihkan pandangan ke langit hitam tak berporos itu. "Nama Arthem diambil dari penggalan nama Artemis, biasanya digunakan oleh orang Rusia sebagai nama laki-laki. Dan Phoebe adalah nama lain yang biasa digunakan sang dewi," penjelasan panjang darinya.
Dari orang yang membentuk hidupnya sekaligus menghancurkannya.
.
.
~::----------------------------------------------::~
Sekali lagi Rhea termenung di dalam lamunannya, ia tidak bisa tidur. Mengapit bantal di antara kaki dan dadanya, bersenandung kembali sembari melihat langit. Bukan lagi langit pekat tak berporos, tapi langit hitam yang ditaburi bintang.
Far away, long ago
Glowing Dim as an Ember
Things my Heart used to know
Things it yearns to remember...
And the Song, Someone Sings
Once upon in December
.
.
-kapan bisa mengingatnya lagi?
________________________________________________________________________
Yay first chapter Finished :3
Arthem Seravine Einverd itu kakek buyutnya Shein (OMG Rhea tua >...<!)
chapter 1 ini cerita asal-usul ketemunya
chapter-chapter selanjutnya akan membuka rahasia yang lain
m(_ _)m
Thanks for reading
(c) Rheaffel
Last edited by Rheaffel on Wed Aug 12, 2009 12:12 am; edited 2 times in total
Rheaffel- Member
- Posts : 1138
Points : 1193
Join date : 2009-07-03
Age : 32
Location : Hanamacchi
Character Bio
Character Name:
Status:
Job:
Re: [omake] Once Upon in December (finished)
Part II
-Once Upon in December-
...
Namanya adalah Arthem, tadinya kalau yang lahir bayi perempuan pasti akan diberi nama Artemis sesuai dengan nama dewi Yunani. Tapi kenapa harus Artemis?
... Diceritakan bahwa Artemis adalah anak Zeus dari seorang wanita yang sama sekali bukan dewa. Artemis adalah anak dari ibu seorang manusia, yang lahir dengan keterasingan dan dibuang jauh dari gunung Olympus tempat para Dewa. Hera marah besar ketika anak ini lahir, makanya Zeus mengirim Artemis serta ibunya ke pulau lain tempat di mana mereka bisa hidup dengan tenang.
Sama dengan Arthem, seandainya ia adalah anak perempuan yang terlahir dari ayah seorang bangsawan dengan ibu seorang wanita biasa saja. Tapi yang ada di sini adalah kebalikannya. Arthem adalah anak laki-lagi. Bukan ayahnya, tapi ibunya lah yang seorang bangsawan. Dan ia tidak diasingkan ke sebuah pulau bersama ayah kandungnya melainkan tetap menetap di kediaman bangsawan itu sampai besarnya walau terus dijadikan anak tiri.
Arthem adalah kiasan Artemis, diambil dari nama laki-laki di Rusia. Seravine adalah nama seorang penyihir hebat dalam dongeng, yang memainkan sebuah boneka marionete sebagai temannya. Dan Einverd adalah nama yang mau tidak mau harus disandangnya.
Arthem Seravine Einverd,
Lord Seravine.
...
"Sekarang ke mana?"
Ingat cerita yang lalu? Kilasan baliknya, sebuah pintu menuju Abyss terbuka di kediaman keluarga Einverd. Arthem yang tidak sengaja melihatnya kemudian di dorong masuk oleh ayah tirinya ke dalam dunia gelap tersebut. Dua hari di sana, ia berkelana dengan chain pendiam yang dinamainya dengan nama Phoebe. Dan saat ini keduanya sedang berupaya mencari jalan keluar dari semua itu.
... "Bisakah tidak bertanya seperti itu padaku nona, inikan duniamu," tukas Arthem dengan suara pelan. Ia sedang berpikir jadi sebaiknya kau diam dan jangan dulu berbicara. Ke mana mereka pergi tentu saja mencari pintu lain dari dunia yang aneh ini.
Ah... tiga hari, itu adalah hari ketiga di mana ia terjebak di sini. Tidak makan, tidak minum, dan kerjaan mereka hanya membasmi para monster pengganggu yang berdatangan karena kelaparan. Menyebalkan bukan, dan yang lebih menyebalkannya lagi adalah mengetahui bahwa nona chain satu ini tidak dapat melakukan apapun. Oh! Bukannya ia seharusnya melayani tuannya, mencarikannya makanan kek! Tempat untuk beristirahat kek! Atau hal lainnya, bukan mengubah seenaknya personality orang karena memiliki sinkronisasi yang bisa membuat gila.
...
Cukup! Satu hal yang musti kau pelajari di dunia ini adalah JANGAN MENGELUH
karena mengeluh membuatmu TAMBAH LELAH
...
Berada di Abyss bukan berarti kau bisa seenaknya terbebas dari tugas di luar sana. Dunia ini lebih mengerikan daripada tempat di bumi, dan lebih mengerikan dari apa yang disebut dengan neraka. Tahu kenapa? Karena Arthem belum pernah ke neraka sebelumnya, ia hanya pernah ke dunia yang kacau balau ini.
Dan... walaupun si nona bersayap ini nampak tidak peduli, nyatanya ia adalah orang -- atau makhluk tepatnya -- yang setia mengikuti Arthem ke mana ia mengambil langkah, dan setia melindunginya dari segala mara bahaya. Ia adalah nona yang loyal, dan pemuda bergelas violet ini tentu menyukainya.
...
.
.
.
Cepatnya saja, mereka kemudian keluar berkat bantuan dari seseorang bernama Altair. Siapa orang ini? Ia adalah saudara sepupu Arthem yang terkadang bisa membantu di saat sepupu tirinya ini membutuhkan bantuan.
"Kukira kau sudah mati setelah tiga tahun menghilang dari dunia ini," ucap Altair, setengah bercanda setengah serius, lebih banyak seriusnya.
"Dan yang pasti banyak yang terjadi selama tiga tahun ini bukan?" dilanjutkan oleh Arthem yang begitu ingin tahu apa saja yang terjadi. Ia bisa menyimpulkan bahwa 3 hari di Abyss berlaku 3 tahun di dunianya. Jarak waktu yang begitu jauh dan umurnya yang baru saja 21 tiba-tiba sudah menginjak 24 lagi.
Altair mengangkat bahunya, berusaha tidak bercerita toh tidak ada yang baik dalam 3 tahun terakhir. Intinya, biasa saja. "Tapi mungkin semua orang akan terkejut melihatmu kembali," lanjut pria berkacamata ini. Kemudian ia melirik seorang wanita yang dibawa Arthem pulang ke dunia itu. "Rupanya bisa juga kau memungut gadis orang di dunia yang rumornya mengerikan itu. Siapakah dia?"
Bertanya soal Phoebe itu berarti kau bertanya tentang sesuatu yang belum banyak diketahui oleh orang lain. "Altair, kau pasti tidak menyangka! Dia bukan sembarangan wanita, dia adalah Chain!"
"Chain?" Altair mengulang kata terakhir yang disebutkan oleh Arthem.
Si gelas violet ini hanya mengangguk antusias kemudian melirik Phoebe di sampingnya. "Tunjukkan wujud chain-mu," perintahnya dengan nada pelan, itu tentu bukan suruhan yang berat kan?
Dan kemudian sosok anggun wanita itu berubah menjadi seekor phoenix putih bersurai emas yang begitu anggun. Phoenix Phoebe menetapkan kakinya di bahu Arthem, benar-benar burung phoenix yang mungkin dapat menggemparkan seisi kediaman ini.
... Chain?
.
.
Berkat seekor chain reputasi Arthem kemudian naik. Ia tidak lagi dianak tirikan, dan tentu membuat para saudara tirinya merasa kehilangan tempat, tidak begitu dengan Altair, ia pengecualian karena pria ini tidak pernah mementingkan kedudukan di dalam satu keluarga.
Melewati tiga hari di Abyss, kembali setelah tiga tahun, bertemu dengan Phoebe, benar-benar merupakan suatu pertanda manis bagi Arthem. Selama ini ia tidak pernah dilirik sebagai seseorang, namun kini ia menjadi kontraktor pertama di Einverd dan Phoebe akan melegendaris dengan kenyataan bahwa ia adalah chain pertama yang menginjakan kaki di kediaman itu.
Semua pasti berubah Arthem, tapi bukan selalu hal baik yang berubah.
"Coba kau tersenyum?"
Phoebe diam saja.
"Kalau merenggangkan mulutmu seperti ini... niiii,"
Phoebe memalingkan wajahnya.
"Masak sih tidak lucu? Begini~"
Phoebe menunduk.
"Tuh kan, kau pasti tertawa,"
Arthem selalu melakukan hal aneh yang membuat Phoebe merasa memiliki emosi. Kadang ia bercerita konyol atau melebar-lebarkan pipinya, merenggangkan mulutnya, menampakkan ekspresi unik di wajahnya yang membuat si nona bersayap ini merasa lucu, dan hampir memaksanya untuk tersenyum.
"Kau akan lebih manis jika lebih banyak tersenyum," kadang sebuah pujian ini terlontar dari mulutnya yang selalu berkata manis tanpa melihat siapa yang menjadi objek kajian kejahilannya.
Sedikit demi sedikit hari yang mereka lalui menjadi setumpuk kenangan. Dan Arthem menjadikannya seseorang yang begitu spesial, yang bisa membuatnya tertawa dan salah tingkah kemudian menjadi malu karena semua hal itu. Ini adalah kali pertamanya Phoebe merasa bahagia karena memiliki seseorang.
"Tuan?"
"Arthem,"
"Tuan Arthem?"
"Panggil namaku saja,"
"..." menggeleng pelan.
"Panggil!"
"..." masih menggeleng.
"Ini perintah!"
... diam, "Ar... them?"
"Kau bisa kan," ucap Arthem sambil menepuk-nepuk kepala Phoebe yang kini berhiaskan sebuah aksesoris berbahan bulu. Phoebe hanya bisa menunduk, wajahnya memerah dan entah mengapa kini ia jadi sering salah tingkah akibat ulah tuannya.
Benarkah ia bahagia?
Jawabannya adalah sangat bahagia.
Karena kau adalah satu-satunya milikku, dan milikku satu-satunya
...
Kisah bahagia ini tidak langsung berhenti sampai di sana. Chain adalah barang langka pada zaman itu, hanya dapat ditemukan di Abyss dan hanya dapat diraih oleh para manusia yang mau menghabiskan sisa umurnya di tempat kelam tersebut. Namun ternyata pemilik chain bukan hanya Einverd, Novaidon selalu tidak mau kalah. Mereka kini memiliki chain-chain terkuat, dan kebanyakan dari mereka disebut dengan illegal chain. Tidak tahu apa itu? Yang pasti pada zaman tersebut hal itu sangat langka dan sangat mematikan.
Perang kembali berkecamuk.
"Kita tidak punya pilihan lain, kita harus memerangi mereka!"
Gejolak perang mulai terasa di mana-mana. Bagian yang paling tidak dimengerti dari manusia, mengapa mereka saling membunuh satu sama lain hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tidakkah bisa mereka saling mengerti dan menyimpan pedang mereka? Setidaknya untuk satu waktu yang disebut dengan masa damai.
Bulan Desember yang kelabu lagi-lagi memaknai banyak peristiwa.
"Arthem kau juga harus turut melawan mereka!" Altair berusaha memaksa. Sejak lama memang Arthem dikenal tidak ingin turut campur dalam peperangan antar keluarga bangsawan. Namun kini lain, ia memiliki kekuatan, Phoebe adalah kekuatannya dan dengan dia pasti para Novaidon itu akan teratasi.
... pikiran singkat, semua orang di rumah ini hanya berpikir seenak mereka. Arthem bersikeras pada pendiriannya, ia tidak akan pergi berperang apalagi sampai harus mengikutsertakan Phoebe dalam aksi bengis itu. Ia tahu apa gunanya chain, tapi mengorbankan seseorang yang disayanginya adalah hal tabu. Sampai matipun ia tidak akan membiarkan Phoebe untuk turut campur dalam peperangan itu.
"Kau bisa menggunakan Phoebe?" Altair masih memaksa, kali ini benar membawa-bawa nama chain satu-satunya itu.
"Tidak!" dan dengan tegas pasti Arthem menolaknya. "Kubilang sekali lagi, Phoebe tidak akan kubawa dalam urusan ini!"
"Tapi mereka menggunakan chain, mereka berperang dengan para chain! Kau mau berapa banyak dari kita yang akan mati!" ucap Altair dengan suara keras sambil mencengkram kerah pakaian sepupu tirinya itu.
Arthem tidak bisa melakukannya. Ia tidak akan membawa Phoebe dalam masalah ini. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghentikan aksi gila keluarga serakah satu itu. Berpikir sejenak, haruskan ia membawa Phoebe? Kali ini atau tidak selamanya?
Si nona bersayap tidak bergeming mendengarkan perdebatan yang membawa-bawa namanya itu. Ia tetap diam seperti biasa, tidak lagi menunjukkan ekspresi. Ekspresi dan emosinya hanya diperlihatkan di hadapan Arthem seorang.
Sekali lagi Arthem melirik Phoebe dengan perasaan bersalah. Ia memiliki senjata yang tidak ingin digunakannya. Tapi jika ia tidak menggunakannya maka akan semakin banyak orang yang mati karena hal tersebut. Jika ia tanyakan pendapat Phoebe mengenai hal ini, nona itu pasti akan menjawab bahwa semua keputusan ada di tangannya. Jadi keputusan apakah yang harus diambilnya?
...
Kalau suatu hari nanti aku mati, maka lupakanlah segala hal tentangku dan lanjutkan kehidupanmu. Kelak, kau akan menemukan tempat yang lebih baik daripada apa yang kita jalani bersama di sini
.
.
.
"Kau belum tidur Rhea?" tiba-tiba saja Shein muncul di ambang pintu. Tumben sekali, oh pasti menginginkan sesuatu.
Chain ini hanya menggelengkan kepalanya pelan sebagai pertanda jawaban. Dan Masternya hanya mengangguk tanda mengerti.
"Tidurlah, besok kita harus pergi menghadiri rapat ini itu. Yah... itulah," lanjut Shein kemudian menutup pintunya.
Rhea tidak bergeming. Ia tetap tidak bisa tertidur dan kembali menatapi langit dari balik jendela kamarnya. Kemudian menunjukkan tangannya ke arah sang bulan, "Artemis... dewi bulan," ucapnya lalu kembali melamun.
And the Song Someone Sing...
Once Upon in December...
__________________________________________________________________________
Second chapter Finished :3
Thanks for Reading
(c) Rheaffel
kini tinggal satu chapter terakhir lagi m(_ _)m
-Once Upon in December-
...
Namanya adalah Arthem, tadinya kalau yang lahir bayi perempuan pasti akan diberi nama Artemis sesuai dengan nama dewi Yunani. Tapi kenapa harus Artemis?
... Diceritakan bahwa Artemis adalah anak Zeus dari seorang wanita yang sama sekali bukan dewa. Artemis adalah anak dari ibu seorang manusia, yang lahir dengan keterasingan dan dibuang jauh dari gunung Olympus tempat para Dewa. Hera marah besar ketika anak ini lahir, makanya Zeus mengirim Artemis serta ibunya ke pulau lain tempat di mana mereka bisa hidup dengan tenang.
Sama dengan Arthem, seandainya ia adalah anak perempuan yang terlahir dari ayah seorang bangsawan dengan ibu seorang wanita biasa saja. Tapi yang ada di sini adalah kebalikannya. Arthem adalah anak laki-lagi. Bukan ayahnya, tapi ibunya lah yang seorang bangsawan. Dan ia tidak diasingkan ke sebuah pulau bersama ayah kandungnya melainkan tetap menetap di kediaman bangsawan itu sampai besarnya walau terus dijadikan anak tiri.
Arthem adalah kiasan Artemis, diambil dari nama laki-laki di Rusia. Seravine adalah nama seorang penyihir hebat dalam dongeng, yang memainkan sebuah boneka marionete sebagai temannya. Dan Einverd adalah nama yang mau tidak mau harus disandangnya.
Arthem Seravine Einverd,
Lord Seravine.
...
"Sekarang ke mana?"
Ingat cerita yang lalu? Kilasan baliknya, sebuah pintu menuju Abyss terbuka di kediaman keluarga Einverd. Arthem yang tidak sengaja melihatnya kemudian di dorong masuk oleh ayah tirinya ke dalam dunia gelap tersebut. Dua hari di sana, ia berkelana dengan chain pendiam yang dinamainya dengan nama Phoebe. Dan saat ini keduanya sedang berupaya mencari jalan keluar dari semua itu.
... "Bisakah tidak bertanya seperti itu padaku nona, inikan duniamu," tukas Arthem dengan suara pelan. Ia sedang berpikir jadi sebaiknya kau diam dan jangan dulu berbicara. Ke mana mereka pergi tentu saja mencari pintu lain dari dunia yang aneh ini.
Ah... tiga hari, itu adalah hari ketiga di mana ia terjebak di sini. Tidak makan, tidak minum, dan kerjaan mereka hanya membasmi para monster pengganggu yang berdatangan karena kelaparan. Menyebalkan bukan, dan yang lebih menyebalkannya lagi adalah mengetahui bahwa nona chain satu ini tidak dapat melakukan apapun. Oh! Bukannya ia seharusnya melayani tuannya, mencarikannya makanan kek! Tempat untuk beristirahat kek! Atau hal lainnya, bukan mengubah seenaknya personality orang karena memiliki sinkronisasi yang bisa membuat gila.
...
Cukup! Satu hal yang musti kau pelajari di dunia ini adalah JANGAN MENGELUH
karena mengeluh membuatmu TAMBAH LELAH
...
Berada di Abyss bukan berarti kau bisa seenaknya terbebas dari tugas di luar sana. Dunia ini lebih mengerikan daripada tempat di bumi, dan lebih mengerikan dari apa yang disebut dengan neraka. Tahu kenapa? Karena Arthem belum pernah ke neraka sebelumnya, ia hanya pernah ke dunia yang kacau balau ini.
Dan... walaupun si nona bersayap ini nampak tidak peduli, nyatanya ia adalah orang -- atau makhluk tepatnya -- yang setia mengikuti Arthem ke mana ia mengambil langkah, dan setia melindunginya dari segala mara bahaya. Ia adalah nona yang loyal, dan pemuda bergelas violet ini tentu menyukainya.
...
.
.
.
Cepatnya saja, mereka kemudian keluar berkat bantuan dari seseorang bernama Altair. Siapa orang ini? Ia adalah saudara sepupu Arthem yang terkadang bisa membantu di saat sepupu tirinya ini membutuhkan bantuan.
"Kukira kau sudah mati setelah tiga tahun menghilang dari dunia ini," ucap Altair, setengah bercanda setengah serius, lebih banyak seriusnya.
"Dan yang pasti banyak yang terjadi selama tiga tahun ini bukan?" dilanjutkan oleh Arthem yang begitu ingin tahu apa saja yang terjadi. Ia bisa menyimpulkan bahwa 3 hari di Abyss berlaku 3 tahun di dunianya. Jarak waktu yang begitu jauh dan umurnya yang baru saja 21 tiba-tiba sudah menginjak 24 lagi.
Altair mengangkat bahunya, berusaha tidak bercerita toh tidak ada yang baik dalam 3 tahun terakhir. Intinya, biasa saja. "Tapi mungkin semua orang akan terkejut melihatmu kembali," lanjut pria berkacamata ini. Kemudian ia melirik seorang wanita yang dibawa Arthem pulang ke dunia itu. "Rupanya bisa juga kau memungut gadis orang di dunia yang rumornya mengerikan itu. Siapakah dia?"
Bertanya soal Phoebe itu berarti kau bertanya tentang sesuatu yang belum banyak diketahui oleh orang lain. "Altair, kau pasti tidak menyangka! Dia bukan sembarangan wanita, dia adalah Chain!"
"Chain?" Altair mengulang kata terakhir yang disebutkan oleh Arthem.
Si gelas violet ini hanya mengangguk antusias kemudian melirik Phoebe di sampingnya. "Tunjukkan wujud chain-mu," perintahnya dengan nada pelan, itu tentu bukan suruhan yang berat kan?
Dan kemudian sosok anggun wanita itu berubah menjadi seekor phoenix putih bersurai emas yang begitu anggun. Phoenix Phoebe menetapkan kakinya di bahu Arthem, benar-benar burung phoenix yang mungkin dapat menggemparkan seisi kediaman ini.
... Chain?
.
.
Berkat seekor chain reputasi Arthem kemudian naik. Ia tidak lagi dianak tirikan, dan tentu membuat para saudara tirinya merasa kehilangan tempat, tidak begitu dengan Altair, ia pengecualian karena pria ini tidak pernah mementingkan kedudukan di dalam satu keluarga.
Melewati tiga hari di Abyss, kembali setelah tiga tahun, bertemu dengan Phoebe, benar-benar merupakan suatu pertanda manis bagi Arthem. Selama ini ia tidak pernah dilirik sebagai seseorang, namun kini ia menjadi kontraktor pertama di Einverd dan Phoebe akan melegendaris dengan kenyataan bahwa ia adalah chain pertama yang menginjakan kaki di kediaman itu.
Semua pasti berubah Arthem, tapi bukan selalu hal baik yang berubah.
~::----------------------------------------------::~
"Coba kau tersenyum?"
Phoebe diam saja.
"Kalau merenggangkan mulutmu seperti ini... niiii,"
Phoebe memalingkan wajahnya.
"Masak sih tidak lucu? Begini~"
Phoebe menunduk.
"Tuh kan, kau pasti tertawa,"
Arthem selalu melakukan hal aneh yang membuat Phoebe merasa memiliki emosi. Kadang ia bercerita konyol atau melebar-lebarkan pipinya, merenggangkan mulutnya, menampakkan ekspresi unik di wajahnya yang membuat si nona bersayap ini merasa lucu, dan hampir memaksanya untuk tersenyum.
"Kau akan lebih manis jika lebih banyak tersenyum," kadang sebuah pujian ini terlontar dari mulutnya yang selalu berkata manis tanpa melihat siapa yang menjadi objek kajian kejahilannya.
Sedikit demi sedikit hari yang mereka lalui menjadi setumpuk kenangan. Dan Arthem menjadikannya seseorang yang begitu spesial, yang bisa membuatnya tertawa dan salah tingkah kemudian menjadi malu karena semua hal itu. Ini adalah kali pertamanya Phoebe merasa bahagia karena memiliki seseorang.
"Tuan?"
"Arthem,"
"Tuan Arthem?"
"Panggil namaku saja,"
"..." menggeleng pelan.
"Panggil!"
"..." masih menggeleng.
"Ini perintah!"
... diam, "Ar... them?"
"Kau bisa kan," ucap Arthem sambil menepuk-nepuk kepala Phoebe yang kini berhiaskan sebuah aksesoris berbahan bulu. Phoebe hanya bisa menunduk, wajahnya memerah dan entah mengapa kini ia jadi sering salah tingkah akibat ulah tuannya.
Benarkah ia bahagia?
Jawabannya adalah sangat bahagia.
Karena kau adalah satu-satunya milikku, dan milikku satu-satunya
...
Kisah bahagia ini tidak langsung berhenti sampai di sana. Chain adalah barang langka pada zaman itu, hanya dapat ditemukan di Abyss dan hanya dapat diraih oleh para manusia yang mau menghabiskan sisa umurnya di tempat kelam tersebut. Namun ternyata pemilik chain bukan hanya Einverd, Novaidon selalu tidak mau kalah. Mereka kini memiliki chain-chain terkuat, dan kebanyakan dari mereka disebut dengan illegal chain. Tidak tahu apa itu? Yang pasti pada zaman tersebut hal itu sangat langka dan sangat mematikan.
Perang kembali berkecamuk.
~::----------------------------------------------::~
"Kita tidak punya pilihan lain, kita harus memerangi mereka!"
Gejolak perang mulai terasa di mana-mana. Bagian yang paling tidak dimengerti dari manusia, mengapa mereka saling membunuh satu sama lain hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tidakkah bisa mereka saling mengerti dan menyimpan pedang mereka? Setidaknya untuk satu waktu yang disebut dengan masa damai.
Bulan Desember yang kelabu lagi-lagi memaknai banyak peristiwa.
"Arthem kau juga harus turut melawan mereka!" Altair berusaha memaksa. Sejak lama memang Arthem dikenal tidak ingin turut campur dalam peperangan antar keluarga bangsawan. Namun kini lain, ia memiliki kekuatan, Phoebe adalah kekuatannya dan dengan dia pasti para Novaidon itu akan teratasi.
... pikiran singkat, semua orang di rumah ini hanya berpikir seenak mereka. Arthem bersikeras pada pendiriannya, ia tidak akan pergi berperang apalagi sampai harus mengikutsertakan Phoebe dalam aksi bengis itu. Ia tahu apa gunanya chain, tapi mengorbankan seseorang yang disayanginya adalah hal tabu. Sampai matipun ia tidak akan membiarkan Phoebe untuk turut campur dalam peperangan itu.
"Kau bisa menggunakan Phoebe?" Altair masih memaksa, kali ini benar membawa-bawa nama chain satu-satunya itu.
"Tidak!" dan dengan tegas pasti Arthem menolaknya. "Kubilang sekali lagi, Phoebe tidak akan kubawa dalam urusan ini!"
"Tapi mereka menggunakan chain, mereka berperang dengan para chain! Kau mau berapa banyak dari kita yang akan mati!" ucap Altair dengan suara keras sambil mencengkram kerah pakaian sepupu tirinya itu.
Arthem tidak bisa melakukannya. Ia tidak akan membawa Phoebe dalam masalah ini. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghentikan aksi gila keluarga serakah satu itu. Berpikir sejenak, haruskan ia membawa Phoebe? Kali ini atau tidak selamanya?
Si nona bersayap tidak bergeming mendengarkan perdebatan yang membawa-bawa namanya itu. Ia tetap diam seperti biasa, tidak lagi menunjukkan ekspresi. Ekspresi dan emosinya hanya diperlihatkan di hadapan Arthem seorang.
Sekali lagi Arthem melirik Phoebe dengan perasaan bersalah. Ia memiliki senjata yang tidak ingin digunakannya. Tapi jika ia tidak menggunakannya maka akan semakin banyak orang yang mati karena hal tersebut. Jika ia tanyakan pendapat Phoebe mengenai hal ini, nona itu pasti akan menjawab bahwa semua keputusan ada di tangannya. Jadi keputusan apakah yang harus diambilnya?
...
Kalau suatu hari nanti aku mati, maka lupakanlah segala hal tentangku dan lanjutkan kehidupanmu. Kelak, kau akan menemukan tempat yang lebih baik daripada apa yang kita jalani bersama di sini
~::----------------------------------------------::~
.
.
.
"Kau belum tidur Rhea?" tiba-tiba saja Shein muncul di ambang pintu. Tumben sekali, oh pasti menginginkan sesuatu.
Chain ini hanya menggelengkan kepalanya pelan sebagai pertanda jawaban. Dan Masternya hanya mengangguk tanda mengerti.
"Tidurlah, besok kita harus pergi menghadiri rapat ini itu. Yah... itulah," lanjut Shein kemudian menutup pintunya.
Rhea tidak bergeming. Ia tetap tidak bisa tertidur dan kembali menatapi langit dari balik jendela kamarnya. Kemudian menunjukkan tangannya ke arah sang bulan, "Artemis... dewi bulan," ucapnya lalu kembali melamun.
And the Song Someone Sing...
Once Upon in December...
__________________________________________________________________________
Second chapter Finished :3
Thanks for Reading
(c) Rheaffel
kini tinggal satu chapter terakhir lagi m(_ _)m
Rheaffel- Member
- Posts : 1138
Points : 1193
Join date : 2009-07-03
Age : 32
Location : Hanamacchi
Character Bio
Character Name:
Status:
Job:
Re: [omake] Once Upon in December (finished)
Part III
-Once Upon in December-
...
"Piano?"
"Iya, mau coba memainkannya?" Arthem memerlihatkan benda dengan deretan tuts itu pada Phoebe yang nampak tertarik setelah tadi melihatnya memainkan beberapa lagu.
Benda itu unik di matanya, maksudnya sepertinya belum ada benda seperti ini di Abyss, yang bentuknya besar, terdiri atas rentetan tuts, dan jika ditekan mengeluarkan suara yang nyaring.
Arthem kemudian memersilakan si nona bersayap ini untuk duduk di sebelahnya, dan menaikkan tangan si nona ke atas deretan tuts itu. Awalnya mungkin Phoebe ragu, tapi Arthem bisa membuatnya menikmati alunan nada-nada yang muncul dari tiap tekanan tuts itu.
Dancing Queen, Painted Wings
Thins I always remember
and the song, someone sing
Once Upon in December
Someone Holds me save and warm
Horse's prace trough a silver storm
Figures dancing gracefully
Across my memory
Dan lagi, lantunan lagu itu menggema di seisi ruangan. Phoebe memiliki suara yang indah dan ia cukup piawai dalam memainkan piano. Hitungan hari saja membuatnya cukup untuk mempelajari benda seni itu.
...
Artemis memang bukan seniman bijak seperti Orpheus. Ia tidak memainkan harpa untuk membangkitkan kekuatannya, ia juga tidak bernyanyi. Ia bertarung dengan menunggangi kudanya, mengangkat busur panahnya dan memerangi sang scorpio demi menyelamatkan nyawa kekasihnya, Orion.
Hera di sana menjatuhkan sesosok monster untuk menganggu cinta mereka. Apollo di sana bukannya membantu malah semakin membuat sang adik terperosok. Zeus hanya bisa menangisi apa yang terjadi pada putrinya.
Tapi Orion bilang, tidak perlu lah kau menangisiku, Artemis adalah dewi yang kuat, yang akan terus hidup demi orang-orang di sekitarnya. Hidupkah wahai Artemis.
Bayangan itu semakin memudar, semakin menjauh dan semakin hilang. Arthem menghilang, ia telah memutuskannya untuk pergi ke arena pertempuran itu tanpa Phoebe. Nona bersayap ini ditinggalkan sendiri di dalam kamarnya, dengan pintu terkunci agar ia tidak bisa keluar dari sana, tidak mengejarnya.
"Buka! Buka pintunya!" Phoebe berteriak dari dalam ruangan, ia memaksa keluar. Ia tahu bahwa Arthem pasti sedang bertempur sendiri, ia tahu perbuatan gila apalagi yang bisa Masternya itu lakukan.
Namun tidak ada jawaban, seolah semua orang sudah bersekongkol untuk membunuh Arthem. Siapapun tahu bahwa Arthem tidak pernah lihai dalam pertempuran, ia bukan seorang ksatria, dan ia tidak kuat tanpa chainnya.
Phoebe tidak bisa menunggu lebih lama. Ia tidak bisa membiarkan Masternya mati begitu saja. Ia tahu, para musuh pasti akan menggunakan chain yang lebih kuat, dan ia bisa kalah dalam beberapa kali serangan.
"BUKA!"
Sayangnya semua orang di tempat itu memang telah dengan sengaja merancang kematian Arthem. Sejak semula memang tidak ada yang menganggap bahwa si gelas violet adalah bagian dari keluarga itu. Bagaimanapun ia adalah anak dari pria yang menjadi selingkuhan ibunya dan hal itu adalah aib bagi keluarga bangsawan seperti Einverd.
Pintu itu sudah menjadi sekeras tembok rupanya. Bahkan Phoebe tidak bisa membukanya, ia benar-benar tidak bisa membantu. Padahal ia telah berjanji akan terus melindungi Arthem hingga akhir hayatnya.
Mau diketuk sekeras apapun pintu itu tidak akan terbuka, entah mengapa karena terbawa dengan emosinya, Phoebe merasa lemah, ia tidak bisa mengeluarkan kekuatannya. Tidak bisa melakukan apa yang seharusnya bisa ia lakukan. Yang kini bisa ia lakukan hanya menangis dan berharap bahwa sesuatu yang buruk tidak terjadi.
--hanya bisa menunggunya.
...
"Buka... Arthem, buka..."
Hampir semalaman rupanya Phoebe menunggu. Tidak ada yang datang, ia masih berada di sana sendiri. Tidak ada kabar mengenai Arthem, apa ia baik-baik saja, atau sesuatu terjadi padanya.
Lemas, badannya semakin lemas. Bukan karena ia belum makan atau apa, tapi karena beragam perasaan dan pemikiran kian menghantui dirinya. Phoebe meringkuk di depan pintu itu, berharap secepat mungkin Arthem akan membukanya dan berkata bahwa ia baik-baik saja.
Longing for you
Day and in dream
I'm hopping you're here
Every moment
Menunggu, sampai kapan ia harus menunggu?
... Lama menunggu akhirnya chain ini masuk ke dalam tidurnya, memimpikkan sang Master di dalam imajinasinya. Melihatnya senyumnya, mendengar suaranya, merasakan kehangatannya. Akan adakah ia? Kini dan nanti?
.
.
'GRAK... TRAK'
Sebuah suara membangunkan nona bersayap ini dari tidurnya. "Phoebe... bangunlah!" seseorang membangunkannya. Phoebe memandangi orang itu, Arthem kah?
"Arthem!" panggilnya dengan suara cukup keras. Kemudian membuka mata dan menemukan sosok lain di sana. "Tuan Altair?"
Ternyata itu adalah Altair, bukan Arthem yang ditunggunya. Entah, wajah Altair terlihat pucat, ia nampak menghawatirkan sesuatu. "Ayo ikut," pria itu kemudian menarik Phoebe berlari mengintari lorong bangunan besar itu.
"Apa yang terjadi pada Arthem tuan?" sambil berlari sambil bertanya. Reaksi wajah Altair sangat tidak bersahabat rupanya, dan ia tidak juga menjawab. "Tuan!" serunya sekali lagi. Benar-benar tidak ada kata yang keluar dari Altair.
Mereka hanya terus berlari hingga berhenti di pelataran belakang kediaman keluarga itu. Ada seekor kuda di sana, "Pergilah ke taman kota dengan kuda ini. Arthem ada di sana, ia pasti memerlukan bantuanmu."
"Arthem?" sedikit banyak tidak percaya. Phoebe merasa tidak enak, perasaannya berkata bahwa sesuatu yang buruk mungkin terjadi. Apa yang terjadi pada Arthem sebenarnya?
"Pergilah sebelum ia benar-benar terbunuh!" gertakan dari Altair membuat Phoebe mengambil keputusannya untuk menaiki kuda tersebut dan berlari dengan cepat.
cepat... cepat... cepat...
Deru angin, bau darah, helaan salju yang mengintarinya tidak lagi terasa. Bagaimanapun juga ia harus cepat-cepat sampai sebelum hal yang buruk benar-benar terjadi. Perasaannya benar-benar kacau, tangannya bergetar dengan hebat ketika memegangi tali pelana. Hampir saja Phoebe terjatuh karenanya.
--cepatlah sampai, sebelum semua yang buruk terjadi.
Abu...
Hanya ada warna abu yang terlihat di matanya. Matanya berkelit mencari sosok si rambut ungu pekat, namun yang ada di tempat itu hanyalah gelimpangan mayat manusia dan tanah puthi yang kini bersimbah warna merah.
Phoebe menuruni kudanya, kakinya bergetar. Dingin... dan menakutkan. Apa yang terjadi di sini? Di mana Arthem? Jangan bilang bahwa pria bergelas violet itu termasuk dalam gelimpangan makhluk tak bernyawa ini.
"Arthem... Arthem..." panggil Phoebe dengan suara setengah keluar. Dinginnya bulan Desember membuatnya tidak bisa berteriak dengan keras, asap putih mengepul lebat dari mulutnya.
Dingin sekali... apa yang terjadi pada Arthem di tempat sedingin ini.
... langkah kecilnya terus menyusuri tempat itu.
Dan ia tidak menduga apa yang terjadi setelahnya. "MENUNDUK!!" seseorang muncul dari belakang dan mendorong Phoebe untuk menunduk. Kemudian sebuah ledakkan besar terjadi di belakang mereka.
Itu suara apa? Dentuman apa?
Phoebe benar-benar takut, badanya terus bergetar dengan kuat, ia bahkan tidak tahu siapa yang sedang merangkulnya dalam posisi menunduk seperti itu. Sedikit takut, kemudian ia membalikan wajah untuk melihat siapa di situ, "Arthem!" serunya.
Pria bergelas violet ini kini sudah ada bersamanya. Arthem ada di sini, dan entah mengapa semua rasa dingin dan takut yang ada pudar. Phoebe merasa senang, akhirnya ia menemukan Arthem.
Namun rupanya fokus masternya itu tidak terarah padanya. Gelas violetnya masih dengan sabar mengamati suasana di tempat itu. Tempat yang tidak kalah mencekamnya dari Abyss.
"Diam dan dengarkan aku..." Arthem mulai berbicara, matanya masih mengawasi apa yang terjadi di sana. Sejenak terdiam, Phoebe menutup mulutnya dan mengurungkan niat bertanyanya.
. . . "Sekarang, LARI!" secepat kilat kemudian Arthem menyeret chainnya berlari mengintari kompleks pertokoan di sana. Rombongan chain dan kontraktornya siap mengejar di belakang mereka.
Mau tidak mau, suka tidak suka Phoebe harus ikut berlari. Kenapa ia harus berlari? Bukankah kini mereka bersama dan seharusnya melawan tumpukkan chain ini bukan sesuatu yang sulit bagi keduanya.
"Arthem, kita bisa melawan mereka," ucap Phoebe sembari memperhitungkan gerak dan jumlah mereka. "Kita bisa mengatasi mereka," lanjutnya lagi. Namun rupanya Arthem tidak ingin melakukan itu. Ia tetap membawa chainnya berlari memutari pelataran rumah yang ada.
"Arthem!" seru Phoebe sekali lagi. "Arthem dengarkan aku!" kemudian berhenti berlari sambil menepiskan genggaman tangan pria di depannya itu. "Aku adalah chain-mu ingat? Kita bisa melawan mereka, kau bisa menyuruhku untuk menghabisi mereka!" ia menjelaskan lagi. Mengapa Arthem tidak pernah menganggapnya sebagai Chain? Mengapa Arthem tidak pernah menyuruhnya untuk melakukan sesuatu untuk melindunginya dari beragam serangan yang ada.
Pandangan pria bergelas ungu itu terfokus pada nona bersayap di depannya. Dan hanya menggeleng atas segala penjelasan yang telah Phoebe paparkan. Menarik tangannya lagi untuk berlari.
Kelakuan Arthem jelas sangat aneh. Biasanya ia banyak berbicara dan berekspresi bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi kali ini tidak, apa yang terjadi padamu?
Dentuman itu kembali terdengar. Para chain ini menembakkan sejenis paku es berukuran lumayan besar pada mereka. Satu... dua... keduanya dapat menghindari. Namun tiba-tiba saja kumpulan chain lagi muncul dari arah depan. Kini mereka terperangkap di antara lorong-lorong bangunan yang ada.
"Arthem!" sekali lagi Phoebe menyerukan nama pemiliknya. Berharap bahwa Arthem segera mengambil keputusan untuk segera menggunakan dirinya. "Arthem kumohon..." seru Phoebe lagi dengan suara memelas. Ia tidak ingin melihat Arthem terluka lebih banyak.
Langkah mereka terhenti, Phoebe tidak bisa begitu saja mengambil keputusan karena ia adalah tipe chain yang akan bertindak atas perintah majikannya. Gelas beningnya hanya bisa menatap tuannya, menunggu apa yang akan ia lakukan. Keadaannya semakin mendesak dan Arthem harus berpikir lebih cepat.
"Arthem... ?"
Tiba-tiba saja Arthem menariknya lagi berlari. Mana mungkin? Apa yang ia lakukan? Menerobos kawanan musuh?
"Arthem!"
... 'Jleb!' ... 'Bruk!'
Suara itu menghilang, Phoebe terjatuh dengan Arthem menimpa di atasnya. Pikirannya buyar, matanya hanya bisa menatap langit malam yang lagi dituruni salju. Tangannya merangkul erat badan yang tak lagi bergerak.
"Arthem... Arthem..." tidak ada yang bisa dilakukannya selain memanggil nama itu sesering mungkin, sebanyak mungkin. "Arthem bangun..."
Mereka pergi... suasana kembali sepi...
Hanya ada salju... dan salju...
"Aku akan membawamu pulang," kepulan asap putih kembali membumbung seiring dengan ucapannya.
Semuanya sudah berakhir, Phoebe duduk bersandar pada bahu tuannya yang kini menutup mata dengan tenang. Arthem terluka sejak serangan tadi, ia masih bernafas tapi itu tidak akan lama lagi.
"Ayo kita pulang," ajak nona bersayap ini lagi.
Keduanya diam terduduk di sudut lorong bangunan, bersembunyi dari kejaran para musuh. Duduk dengan tenang sementara salju yang berjatuhan mulai menyembunyikan sosok keduanya.
Gelas violet Arthem melirik nona di sebelahnya. Kemudian tersenyum begitu melihat sosok itu ada di sebelahnya. Arthem tidak pernah berpikir banyak soal kejadian hari itu. Ia hanya tahu cara melindungi orang yang disayanginya.
"Kau harus hidup," dengan suara ringan dan pelan si rambut ungu pekat ini berbicara. "Kalau suatu hari nanti aku mati, maka lupakanlah segala hal tentangku dan lanjutkan kehidupanmu. Kelak, kau akan menemukan tempat yang lebih baik daripada apa yang kita jalani bersama di sini." Kemudian mengecup pelan rambut abu itu, membelainya dengan lembut untuk terakhir kalinya.
"Arthem... aku akan mati bersamamu," balas Phoebe dengan suara pelan. Entah mengapa ia merasa badannya membeku. Tapi hatinya tetap hangat.
Arthem tersenyum puas saat mendengarkan ucapan itu. Kalau Phoebe sampai ikut mati lalu apa artinya ia melindunginya sampai mati-matian seperti itu?
"Ah, sayang sekali kau tidak bisa melakukannya," ucap Arthem tenang. "Karena ini adalah perintah. Kalau aku mati, kau harus melupakanku. Lupakan namaku, wajahku, kenangan bersamaku, semuanya," ini mungkin adalah perintah terakhir dari Arthem. Ia tidak ingin membuat Phoebe merasa bersalah akibat kejadian itu.
Nona bersayap ini terdiam. Baginya perintah adalah hal termutlak dalam hidup. Dan ia tidak bisa menyangkal apapun yang bersifat perintah untuknya. Tapi dari sekian banyak perintah yang ada, kenapa ia harus disuruh untuk melupakannya?
"Arthem..." panggil Phoebe untuk terakhir kalinya. Ia ingin memanggil nama itu lebih banyak, memandang wajah itu lebih lama, mendengar suara itu lebih lama, dan mengingat kenangan itu.
... "Tidurlah dan lupakan semuanya."
.
.
.
...
"Apa yang sedang Anda baca Master?" Rhea memerhatikan Shein yang nampak sedang asik membaca sebuah buku. Pasti sesuatu tentang bagaimana menguasai Chain, masternya ini selalu ingin menjadi yang terbaik.
Shein kemudian memperlihatkan buku tersebut, sebuah buku yang nampaknya ditulis oleh seseorang, lama sekali. "Katanya buku ini ditulis oleh kontraktor pertama keluarga Einverd. Kau mengenalnya?"
"Siapa?" Rhea turut bertanya ketika melihat-lihat isi buku itu. Semuanya bercerita tentang Chain dan Kontraktornya.
"Entahlah, kakek buyutku katanya," jawab Shein sembari membolak-balikan buku tersebut. "Hm... coba lihat, ada inisialnya di sini A. S. . Ingat?"
A. S. ?
Rhea berpikir sejenak, siapakah itu? Apakah ia mengetahuinya? Kemudian menggelengkan kepala dengan tenang. "Sepertinya saya tidak mengenal nama itu," jawabnya.
"Ah..." Shein hanya mengangguk. Ia tidak akan memaksa, toh ia memang tidak tahu kenapa ini harus begini dan begitu.
Lalu Shein membuka-buka buku itu lagi, ia menemukan secarik kertas terpisah di antaranya. Kertasnya lusuh, namun tulisannya masih terbaca dengan jelas:
Dan lagu yang dinyanyikan oleh seseorang
Suatu hari di Bulan Desember
Chain-ku adalah milikku satu-satunya, dan satu-satunya milikku.
Aku akan menjaganya, karena bukan aku yang menghidupinya, tapi ialah yang menghidupiku.
Terima kasih,
A. S
_______________________________________________________________________
After all Finished m(_ _)m
Thanks for reading :3
(c) Rheaffel
-Once Upon in December-
...
"Piano?"
"Iya, mau coba memainkannya?" Arthem memerlihatkan benda dengan deretan tuts itu pada Phoebe yang nampak tertarik setelah tadi melihatnya memainkan beberapa lagu.
Benda itu unik di matanya, maksudnya sepertinya belum ada benda seperti ini di Abyss, yang bentuknya besar, terdiri atas rentetan tuts, dan jika ditekan mengeluarkan suara yang nyaring.
Arthem kemudian memersilakan si nona bersayap ini untuk duduk di sebelahnya, dan menaikkan tangan si nona ke atas deretan tuts itu. Awalnya mungkin Phoebe ragu, tapi Arthem bisa membuatnya menikmati alunan nada-nada yang muncul dari tiap tekanan tuts itu.
Dancing Queen, Painted Wings
Thins I always remember
and the song, someone sing
Once Upon in December
Someone Holds me save and warm
Horse's prace trough a silver storm
Figures dancing gracefully
Across my memory
Dan lagi, lantunan lagu itu menggema di seisi ruangan. Phoebe memiliki suara yang indah dan ia cukup piawai dalam memainkan piano. Hitungan hari saja membuatnya cukup untuk mempelajari benda seni itu.
...
Artemis memang bukan seniman bijak seperti Orpheus. Ia tidak memainkan harpa untuk membangkitkan kekuatannya, ia juga tidak bernyanyi. Ia bertarung dengan menunggangi kudanya, mengangkat busur panahnya dan memerangi sang scorpio demi menyelamatkan nyawa kekasihnya, Orion.
Hera di sana menjatuhkan sesosok monster untuk menganggu cinta mereka. Apollo di sana bukannya membantu malah semakin membuat sang adik terperosok. Zeus hanya bisa menangisi apa yang terjadi pada putrinya.
Tapi Orion bilang, tidak perlu lah kau menangisiku, Artemis adalah dewi yang kuat, yang akan terus hidup demi orang-orang di sekitarnya. Hidupkah wahai Artemis.
~::----------------------------------------------::~
Bayangan itu semakin memudar, semakin menjauh dan semakin hilang. Arthem menghilang, ia telah memutuskannya untuk pergi ke arena pertempuran itu tanpa Phoebe. Nona bersayap ini ditinggalkan sendiri di dalam kamarnya, dengan pintu terkunci agar ia tidak bisa keluar dari sana, tidak mengejarnya.
"Buka! Buka pintunya!" Phoebe berteriak dari dalam ruangan, ia memaksa keluar. Ia tahu bahwa Arthem pasti sedang bertempur sendiri, ia tahu perbuatan gila apalagi yang bisa Masternya itu lakukan.
Namun tidak ada jawaban, seolah semua orang sudah bersekongkol untuk membunuh Arthem. Siapapun tahu bahwa Arthem tidak pernah lihai dalam pertempuran, ia bukan seorang ksatria, dan ia tidak kuat tanpa chainnya.
Phoebe tidak bisa menunggu lebih lama. Ia tidak bisa membiarkan Masternya mati begitu saja. Ia tahu, para musuh pasti akan menggunakan chain yang lebih kuat, dan ia bisa kalah dalam beberapa kali serangan.
"BUKA!"
Sayangnya semua orang di tempat itu memang telah dengan sengaja merancang kematian Arthem. Sejak semula memang tidak ada yang menganggap bahwa si gelas violet adalah bagian dari keluarga itu. Bagaimanapun ia adalah anak dari pria yang menjadi selingkuhan ibunya dan hal itu adalah aib bagi keluarga bangsawan seperti Einverd.
Pintu itu sudah menjadi sekeras tembok rupanya. Bahkan Phoebe tidak bisa membukanya, ia benar-benar tidak bisa membantu. Padahal ia telah berjanji akan terus melindungi Arthem hingga akhir hayatnya.
Mau diketuk sekeras apapun pintu itu tidak akan terbuka, entah mengapa karena terbawa dengan emosinya, Phoebe merasa lemah, ia tidak bisa mengeluarkan kekuatannya. Tidak bisa melakukan apa yang seharusnya bisa ia lakukan. Yang kini bisa ia lakukan hanya menangis dan berharap bahwa sesuatu yang buruk tidak terjadi.
--hanya bisa menunggunya.
...
"Buka... Arthem, buka..."
Hampir semalaman rupanya Phoebe menunggu. Tidak ada yang datang, ia masih berada di sana sendiri. Tidak ada kabar mengenai Arthem, apa ia baik-baik saja, atau sesuatu terjadi padanya.
Lemas, badannya semakin lemas. Bukan karena ia belum makan atau apa, tapi karena beragam perasaan dan pemikiran kian menghantui dirinya. Phoebe meringkuk di depan pintu itu, berharap secepat mungkin Arthem akan membukanya dan berkata bahwa ia baik-baik saja.
Longing for you
Day and in dream
I'm hopping you're here
Every moment
Menunggu, sampai kapan ia harus menunggu?
... Lama menunggu akhirnya chain ini masuk ke dalam tidurnya, memimpikkan sang Master di dalam imajinasinya. Melihatnya senyumnya, mendengar suaranya, merasakan kehangatannya. Akan adakah ia? Kini dan nanti?
.
.
'GRAK... TRAK'
Sebuah suara membangunkan nona bersayap ini dari tidurnya. "Phoebe... bangunlah!" seseorang membangunkannya. Phoebe memandangi orang itu, Arthem kah?
"Arthem!" panggilnya dengan suara cukup keras. Kemudian membuka mata dan menemukan sosok lain di sana. "Tuan Altair?"
Ternyata itu adalah Altair, bukan Arthem yang ditunggunya. Entah, wajah Altair terlihat pucat, ia nampak menghawatirkan sesuatu. "Ayo ikut," pria itu kemudian menarik Phoebe berlari mengintari lorong bangunan besar itu.
"Apa yang terjadi pada Arthem tuan?" sambil berlari sambil bertanya. Reaksi wajah Altair sangat tidak bersahabat rupanya, dan ia tidak juga menjawab. "Tuan!" serunya sekali lagi. Benar-benar tidak ada kata yang keluar dari Altair.
Mereka hanya terus berlari hingga berhenti di pelataran belakang kediaman keluarga itu. Ada seekor kuda di sana, "Pergilah ke taman kota dengan kuda ini. Arthem ada di sana, ia pasti memerlukan bantuanmu."
"Arthem?" sedikit banyak tidak percaya. Phoebe merasa tidak enak, perasaannya berkata bahwa sesuatu yang buruk mungkin terjadi. Apa yang terjadi pada Arthem sebenarnya?
"Pergilah sebelum ia benar-benar terbunuh!" gertakan dari Altair membuat Phoebe mengambil keputusannya untuk menaiki kuda tersebut dan berlari dengan cepat.
cepat... cepat... cepat...
Deru angin, bau darah, helaan salju yang mengintarinya tidak lagi terasa. Bagaimanapun juga ia harus cepat-cepat sampai sebelum hal yang buruk benar-benar terjadi. Perasaannya benar-benar kacau, tangannya bergetar dengan hebat ketika memegangi tali pelana. Hampir saja Phoebe terjatuh karenanya.
--cepatlah sampai, sebelum semua yang buruk terjadi.
~::----------------------------------------------::~
Abu...
Hanya ada warna abu yang terlihat di matanya. Matanya berkelit mencari sosok si rambut ungu pekat, namun yang ada di tempat itu hanyalah gelimpangan mayat manusia dan tanah puthi yang kini bersimbah warna merah.
Phoebe menuruni kudanya, kakinya bergetar. Dingin... dan menakutkan. Apa yang terjadi di sini? Di mana Arthem? Jangan bilang bahwa pria bergelas violet itu termasuk dalam gelimpangan makhluk tak bernyawa ini.
"Arthem... Arthem..." panggil Phoebe dengan suara setengah keluar. Dinginnya bulan Desember membuatnya tidak bisa berteriak dengan keras, asap putih mengepul lebat dari mulutnya.
Dingin sekali... apa yang terjadi pada Arthem di tempat sedingin ini.
... langkah kecilnya terus menyusuri tempat itu.
Dan ia tidak menduga apa yang terjadi setelahnya. "MENUNDUK!!" seseorang muncul dari belakang dan mendorong Phoebe untuk menunduk. Kemudian sebuah ledakkan besar terjadi di belakang mereka.
Itu suara apa? Dentuman apa?
Phoebe benar-benar takut, badanya terus bergetar dengan kuat, ia bahkan tidak tahu siapa yang sedang merangkulnya dalam posisi menunduk seperti itu. Sedikit takut, kemudian ia membalikan wajah untuk melihat siapa di situ, "Arthem!" serunya.
Pria bergelas violet ini kini sudah ada bersamanya. Arthem ada di sini, dan entah mengapa semua rasa dingin dan takut yang ada pudar. Phoebe merasa senang, akhirnya ia menemukan Arthem.
Namun rupanya fokus masternya itu tidak terarah padanya. Gelas violetnya masih dengan sabar mengamati suasana di tempat itu. Tempat yang tidak kalah mencekamnya dari Abyss.
"Diam dan dengarkan aku..." Arthem mulai berbicara, matanya masih mengawasi apa yang terjadi di sana. Sejenak terdiam, Phoebe menutup mulutnya dan mengurungkan niat bertanyanya.
. . . "Sekarang, LARI!" secepat kilat kemudian Arthem menyeret chainnya berlari mengintari kompleks pertokoan di sana. Rombongan chain dan kontraktornya siap mengejar di belakang mereka.
Mau tidak mau, suka tidak suka Phoebe harus ikut berlari. Kenapa ia harus berlari? Bukankah kini mereka bersama dan seharusnya melawan tumpukkan chain ini bukan sesuatu yang sulit bagi keduanya.
"Arthem, kita bisa melawan mereka," ucap Phoebe sembari memperhitungkan gerak dan jumlah mereka. "Kita bisa mengatasi mereka," lanjutnya lagi. Namun rupanya Arthem tidak ingin melakukan itu. Ia tetap membawa chainnya berlari memutari pelataran rumah yang ada.
"Arthem!" seru Phoebe sekali lagi. "Arthem dengarkan aku!" kemudian berhenti berlari sambil menepiskan genggaman tangan pria di depannya itu. "Aku adalah chain-mu ingat? Kita bisa melawan mereka, kau bisa menyuruhku untuk menghabisi mereka!" ia menjelaskan lagi. Mengapa Arthem tidak pernah menganggapnya sebagai Chain? Mengapa Arthem tidak pernah menyuruhnya untuk melakukan sesuatu untuk melindunginya dari beragam serangan yang ada.
Pandangan pria bergelas ungu itu terfokus pada nona bersayap di depannya. Dan hanya menggeleng atas segala penjelasan yang telah Phoebe paparkan. Menarik tangannya lagi untuk berlari.
Kelakuan Arthem jelas sangat aneh. Biasanya ia banyak berbicara dan berekspresi bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi kali ini tidak, apa yang terjadi padamu?
Dentuman itu kembali terdengar. Para chain ini menembakkan sejenis paku es berukuran lumayan besar pada mereka. Satu... dua... keduanya dapat menghindari. Namun tiba-tiba saja kumpulan chain lagi muncul dari arah depan. Kini mereka terperangkap di antara lorong-lorong bangunan yang ada.
"Arthem!" sekali lagi Phoebe menyerukan nama pemiliknya. Berharap bahwa Arthem segera mengambil keputusan untuk segera menggunakan dirinya. "Arthem kumohon..." seru Phoebe lagi dengan suara memelas. Ia tidak ingin melihat Arthem terluka lebih banyak.
Langkah mereka terhenti, Phoebe tidak bisa begitu saja mengambil keputusan karena ia adalah tipe chain yang akan bertindak atas perintah majikannya. Gelas beningnya hanya bisa menatap tuannya, menunggu apa yang akan ia lakukan. Keadaannya semakin mendesak dan Arthem harus berpikir lebih cepat.
"Arthem... ?"
Tiba-tiba saja Arthem menariknya lagi berlari. Mana mungkin? Apa yang ia lakukan? Menerobos kawanan musuh?
"Arthem!"
... 'Jleb!' ... 'Bruk!'
Suara itu menghilang, Phoebe terjatuh dengan Arthem menimpa di atasnya. Pikirannya buyar, matanya hanya bisa menatap langit malam yang lagi dituruni salju. Tangannya merangkul erat badan yang tak lagi bergerak.
"Arthem... Arthem..." tidak ada yang bisa dilakukannya selain memanggil nama itu sesering mungkin, sebanyak mungkin. "Arthem bangun..."
~::----------------------------------------------::~
Mereka pergi... suasana kembali sepi...
Hanya ada salju... dan salju...
"Aku akan membawamu pulang," kepulan asap putih kembali membumbung seiring dengan ucapannya.
Semuanya sudah berakhir, Phoebe duduk bersandar pada bahu tuannya yang kini menutup mata dengan tenang. Arthem terluka sejak serangan tadi, ia masih bernafas tapi itu tidak akan lama lagi.
"Ayo kita pulang," ajak nona bersayap ini lagi.
Keduanya diam terduduk di sudut lorong bangunan, bersembunyi dari kejaran para musuh. Duduk dengan tenang sementara salju yang berjatuhan mulai menyembunyikan sosok keduanya.
Gelas violet Arthem melirik nona di sebelahnya. Kemudian tersenyum begitu melihat sosok itu ada di sebelahnya. Arthem tidak pernah berpikir banyak soal kejadian hari itu. Ia hanya tahu cara melindungi orang yang disayanginya.
"Kau harus hidup," dengan suara ringan dan pelan si rambut ungu pekat ini berbicara. "Kalau suatu hari nanti aku mati, maka lupakanlah segala hal tentangku dan lanjutkan kehidupanmu. Kelak, kau akan menemukan tempat yang lebih baik daripada apa yang kita jalani bersama di sini." Kemudian mengecup pelan rambut abu itu, membelainya dengan lembut untuk terakhir kalinya.
"Arthem... aku akan mati bersamamu," balas Phoebe dengan suara pelan. Entah mengapa ia merasa badannya membeku. Tapi hatinya tetap hangat.
Arthem tersenyum puas saat mendengarkan ucapan itu. Kalau Phoebe sampai ikut mati lalu apa artinya ia melindunginya sampai mati-matian seperti itu?
"Ah, sayang sekali kau tidak bisa melakukannya," ucap Arthem tenang. "Karena ini adalah perintah. Kalau aku mati, kau harus melupakanku. Lupakan namaku, wajahku, kenangan bersamaku, semuanya," ini mungkin adalah perintah terakhir dari Arthem. Ia tidak ingin membuat Phoebe merasa bersalah akibat kejadian itu.
Nona bersayap ini terdiam. Baginya perintah adalah hal termutlak dalam hidup. Dan ia tidak bisa menyangkal apapun yang bersifat perintah untuknya. Tapi dari sekian banyak perintah yang ada, kenapa ia harus disuruh untuk melupakannya?
"Arthem..." panggil Phoebe untuk terakhir kalinya. Ia ingin memanggil nama itu lebih banyak, memandang wajah itu lebih lama, mendengar suara itu lebih lama, dan mengingat kenangan itu.
... "Tidurlah dan lupakan semuanya."
.
.
.
~::----------------------------------------------::~
...
"Apa yang sedang Anda baca Master?" Rhea memerhatikan Shein yang nampak sedang asik membaca sebuah buku. Pasti sesuatu tentang bagaimana menguasai Chain, masternya ini selalu ingin menjadi yang terbaik.
Shein kemudian memperlihatkan buku tersebut, sebuah buku yang nampaknya ditulis oleh seseorang, lama sekali. "Katanya buku ini ditulis oleh kontraktor pertama keluarga Einverd. Kau mengenalnya?"
"Siapa?" Rhea turut bertanya ketika melihat-lihat isi buku itu. Semuanya bercerita tentang Chain dan Kontraktornya.
"Entahlah, kakek buyutku katanya," jawab Shein sembari membolak-balikan buku tersebut. "Hm... coba lihat, ada inisialnya di sini A. S. . Ingat?"
A. S. ?
Rhea berpikir sejenak, siapakah itu? Apakah ia mengetahuinya? Kemudian menggelengkan kepala dengan tenang. "Sepertinya saya tidak mengenal nama itu," jawabnya.
"Ah..." Shein hanya mengangguk. Ia tidak akan memaksa, toh ia memang tidak tahu kenapa ini harus begini dan begitu.
Lalu Shein membuka-buka buku itu lagi, ia menemukan secarik kertas terpisah di antaranya. Kertasnya lusuh, namun tulisannya masih terbaca dengan jelas:
Dan lagu yang dinyanyikan oleh seseorang
Suatu hari di Bulan Desember
Chain-ku adalah milikku satu-satunya, dan satu-satunya milikku.
Aku akan menjaganya, karena bukan aku yang menghidupinya, tapi ialah yang menghidupiku.
Terima kasih,
A. S
END
_______________________________________________________________________
After all Finished m(_ _)m
Thanks for reading :3
(c) Rheaffel
Rheaffel- Member
- Posts : 1138
Points : 1193
Join date : 2009-07-03
Age : 32
Location : Hanamacchi
Character Bio
Character Name:
Status:
Job:
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum