Log in
Who is online?
In total there is 1 user online :: 0 Registered, 0 Hidden and 1 Guest None
Most users ever online was 313 on Sat Oct 05, 2024 9:26 pm
Search
Latest topics
» Absensi di siniby Kaz Sun Sep 03, 2023 9:49 pm
» [Revive the Forum]
by Kuro Usagi Fri Sep 04, 2015 12:37 am
» Um.. hi, I guess?
by Kuro Usagi Fri Sep 04, 2015 12:35 am
» Do You Have Sixth Sense?
by Kurome Fri Jun 26, 2015 3:45 pm
» Website favorit kalian untuk baca komik online?
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 7:57 pm
» Biarkan Mata, Otak, Keyboard mengaum saat engkau mengetes mereka. xD~
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 7:56 pm
» Imaginary World
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 4:59 pm
» Komentar member di atas^
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 4:37 pm
» If you wish at fallen star, it will come true. Is that true?
by Phantomhive_Earl Sun Oct 27, 2013 3:56 pm
» Pengalaman Seram
by Phantomhive_Earl Sun Oct 27, 2013 12:48 pm
[omake] A Cup of Tea [Honey Tea]
Page 1 of 1
[omake] A Cup of Tea [Honey Tea]
Introduction:
Yak... karena kesibukan sebagai mahasiswi *ehm pitabokeun* jadi saya akan cuti lamaaa sekali. Sebagai pengganti Roleplay, maka saya buat omake jajadian ini *ngaha~*
Dan sebisa mungkin, akan saya pinjem chara di sini *maaf tanpa perizinan :p*
...
A Cup of TEA~
Disclaimer: all PM of PH's Forum
Rating: tergantung *bahasanya mungkin berat --*
Part One
Shein Einverd -- Rosella
... 'ctrak'
Dentingan ringan dari cangkir-cangkir itu terdengar jelas dari sudut ruangan yang ada. Bau-bauan manis menghiasi setiap jengkal dari pematang kebun yang ranum dan mawar...
Derap langkah itu kemudian berhenti di satu anak tangga, memerhatikan sebuah meja berlapis serbet putih yang berhiaskan sulaman bunga merah muda dan daun hijau. Di atasnya tertuang teh pada dua cangkir antik berukir nyanyian siang musim panas, bergagang emas dengan pinggiran berwarna platina.
"Selamat sore, silakan duduk."
Seorang pria bertampang ramah mengangkat satu dari dua cangkir yang ada sambil mengangguk memersilakan tamunya untuk duduk. Masih ada beberapa kursi kosong di sana yang rupanya akan digunakan untuk orang lain. Begitu pula dengan beberapa cangkir teh yang masih berada dalam keadaan tertelungkup.
Kembali melangkah mendekati tempat itu kemudian terduduk di kursi yang telah disediakan. Memandangi cangkir berisi teh berwarna merah ranum dengan bau khas... Rosella.
"Silakan," pria yang kini menjadi tuan rumah memersilakan tamunya untuk mencicipi tehnya.
Dengan agak sungkan kemudian ia meminumnya, perlahan dan merasakan aroma bunganya. Ini bukan mawar memang... tapi dengan jenis yang sama maka akan tercipta suasana yang sama pula.
"Rosella Tea, kah?" akhirnya melantunkan pertanyaan tersebut. Memandang tuan rumah yang tengah mengocok kembali tehnya dengan sendok kecil bermata berlian. Dan dengan anggukkan ringan menyetujui pertanyaan sekaligus pernyataan tersebut.
Agak penasaran dengan tuan penyaji teh akhirnya ia bertanya, "Anda, siapa?"
Ditanya seperti itu akhirnya tuan rumah ini memusatkan seluruh perhatiannya pada sang tamu. Menaruh gagang sendoknya di atas kain serbet dan menahan dagunya dengan kedua tangan.
"Seravine, Arthem. Kau?"
Balik bertanya? Oh rupanya mereka tidak saling mengenal. Tempat ini tidak terlalu asing padahal namun mengapa keberadaan orang satu sama lain tidak terasa sama sekali.
"Ah... Shein Einverd," menjawabnya agak terburu setelah meletakkan cangkir tehnya di atas tatakan bulat. Shein bahkan tidak mengenal siapa gerangan pria yang tengah menghidangkan sajian teh sore di halaman kediamannya. Penyusupkah ia?
"Ngomong-ngomong... kenapa Anda ada di sini?" Akhirnya pertanyaan penuh curiga itu dilontarkannya. Siapa tahu orang ini benar adalah penyusup. Tapi mana ada penyusup yang menghidangkan teh sore dengan begitu ramahnya.
Tuan Arthem mengubah posisi duduknya hingga bersandar, sangat santai dengan wajah berseri-seri. Lalu mengangkat cangkir tehnya, "Untuk minum teh bersama," menjawab lalu menyeruput isi cangkir tersebut.
Gerak-geriknya yang terkesan santai membuat Shein lantas memerhatikan orang ini lagi. Apakah ia anggota keluarga lain? Kalau Novaidon mungkin bukan tapi Reisvort bisa saja kan?
"Anda bukan anggota keluarga ini? Maksud saya di keluarga Einverd ini?" bertanya lagi. Hanya memastikan. Oh ya... ia memiliki tanggung jawab cukup berat sebagai kepala keluarga kan.
Arthem memutar gelar violetnya ke arah lain untuk beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan introgasi ini. "Bukan," menjawab ringan. "Tapi terpaksa iya," lagi-lagi jawaban menggantung.
Mencurigakan tapi tetap terasa nyaman,
Membingungkan tapi tetap terasa jelas,
Dingin tapi terasa hangat,
"Boleh tahu, Anda ini siapa?"
Tersenyum lagi... "Kelihatannya?" memutarbalikan arah pertanyaan. Inikah yang dinamakan uji kesabaran, atau justru uji kepintaran. "Kelihatannya kamu ini sedang bingung sendiri," tiba-tiba saja menyeletuk.
"Eh?" tidak sadar, Shein masih bingung dengan kata-kata tuan 'Teh' ini. "Maksudnya?"
... Mengangkat kembali cangkir tehnya, "Bunga Rosella indah namun sengaja dibuat kering untuk diambil kenikmatan lainnya," beranalogi sendiri. "Itulah yang dinamakan mengambil makna lain dari setiap keadaan," menyelesaikan bait analoginya dengan menyeruput teh hingga habis.
Shein hanya menggeleng mendengar bait yang diucapkan tuan aneh ini. Ia tidak mengerti apa yang dikatakannya, tapi mungkin itu adalah pembelajaran? Atau kata-kata dari pujangga istana yang tidak laku hingga harus diucapkan di hadapan orang lain.
"Tidak mengerti,"
Arthem hanya tersenyum lagi mendengar ungkapan tersebut. "Nanti juga akan mengerti," melanjutkan kata-katanya.
"Maksudnya semua ini terlalu aneh dan tidak dimengerti," mulai memrotesi keadaan. "Dari tehnya, bunganya, Anda sendiri dan... suasana di sini?"
"Asing?" melanjutkan kata-kata si pemuda Einverd. Arthem menuang lagi teh dari poci bulat pendek di tengah meja. "Satu bunga Rosella tidak akan menjadi asing, nikmati saja."
... "Haah~!" ia sama sekali tidak mengerti pada ungkapan demi ungkapan yang Arthem katakan. Pria ini terlalu aneh untuknya. Mengakhiri semua itu saja, "Yah sudahlah terserah apa katamu. Sepertinya waktuku habis untuk minum teh di sini."
Mengakhiri percakapan singkat tersebut. Kemudian Shein beranjak dari tempat duduknya sebelum mengucap hormat untuk meninggalkan tempat.
"Rosella, suatu saat kalau menemukannya maka kau akan teringat makna suatu hal."
Sebelumnya Arthem sempat berpesan, namun kata itu lagi-lagi hanya menjadi angin lalu di telinga Shein yang tengah berada di puncak kepenatannya.
--makna?
Rosella...
"BANGUN!!"
Sebuah teriakan membangunkannya. Oh ya, sampai di mana tadi? Di mana ini? Tuan muda Einverd tengah membaringkan kepalanya di atas sebuah buku. Oh dear tertidur lagikah ia?
"Kenapa hobi sekali sih tiduran di atas buku?" sergah Lilica cepat ketika melihat 'kakeknya' itu lagi-lagi melakukan rutinitas aneh.
Akhirnya sadar bahwa benar ia tertidur di atas buku. Itu masih buku yang sama dengan beberapa hari yang lalu, buku tentang 'bagaimana cara mengandalikan chain' yang ditulis oleh seseorang berinisial A.S. . Tidak penting siapa penulisnya... terpenting adalah,
"Hey ada sesuatu menempel di wajahmu tuh!" ucap Lilica lagi sambil menunjuk-nunjuk butiran merah di pipi Shein.
Tuan berambut putih ini lalu mengambilnya dan tersadar... "Rosella?"
"Ada apa dengan Rosella?" si bocah bertanya-tanya tidak sabaran, masak sih Shein mau membuat teh dari buku?
Matanya kemudian berpaut pada tulisan tangan di buku tersebut, akhirnya tersenyum mengerti. "Hm... dasar tuan Rosella," bergumam lagi setelah menemukan maknanya.
"Bicara apa sih?" protes Lilica yang ingin tahu.
Sambil beranjak berdiri kemudian Shein memasukan kelopak Rosella itu ke saku jasnya. "Tidak ada. Di mana Ivvi? Tiba-tiba saja aku ingin meminum Rosella Tea," ucapnya ringan.
Tanpa bermaksud tanpa berkata.
"Rosella, suatu saat kalau menemukannya maka kau akan teringat makna suatu hal."
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selesai satu *fuh~* nggak jelas ya ==!
Next is Lilica - Milk Tea
Yak... karena kesibukan sebagai mahasiswi *ehm pitabokeun* jadi saya akan cuti lamaaa sekali. Sebagai pengganti Roleplay, maka saya buat omake jajadian ini *ngaha~*
Dan sebisa mungkin, akan saya pinjem chara di sini *maaf tanpa perizinan :p*
...
A Cup of TEA~
Disclaimer: all PM of PH's Forum
Rating: tergantung *bahasanya mungkin berat --*
Part One
Shein Einverd -- Rosella
... 'ctrak'
Dentingan ringan dari cangkir-cangkir itu terdengar jelas dari sudut ruangan yang ada. Bau-bauan manis menghiasi setiap jengkal dari pematang kebun yang ranum dan mawar...
Derap langkah itu kemudian berhenti di satu anak tangga, memerhatikan sebuah meja berlapis serbet putih yang berhiaskan sulaman bunga merah muda dan daun hijau. Di atasnya tertuang teh pada dua cangkir antik berukir nyanyian siang musim panas, bergagang emas dengan pinggiran berwarna platina.
"Selamat sore, silakan duduk."
Seorang pria bertampang ramah mengangkat satu dari dua cangkir yang ada sambil mengangguk memersilakan tamunya untuk duduk. Masih ada beberapa kursi kosong di sana yang rupanya akan digunakan untuk orang lain. Begitu pula dengan beberapa cangkir teh yang masih berada dalam keadaan tertelungkup.
Kembali melangkah mendekati tempat itu kemudian terduduk di kursi yang telah disediakan. Memandangi cangkir berisi teh berwarna merah ranum dengan bau khas... Rosella.
"Silakan," pria yang kini menjadi tuan rumah memersilakan tamunya untuk mencicipi tehnya.
Dengan agak sungkan kemudian ia meminumnya, perlahan dan merasakan aroma bunganya. Ini bukan mawar memang... tapi dengan jenis yang sama maka akan tercipta suasana yang sama pula.
"Rosella Tea, kah?" akhirnya melantunkan pertanyaan tersebut. Memandang tuan rumah yang tengah mengocok kembali tehnya dengan sendok kecil bermata berlian. Dan dengan anggukkan ringan menyetujui pertanyaan sekaligus pernyataan tersebut.
Agak penasaran dengan tuan penyaji teh akhirnya ia bertanya, "Anda, siapa?"
Ditanya seperti itu akhirnya tuan rumah ini memusatkan seluruh perhatiannya pada sang tamu. Menaruh gagang sendoknya di atas kain serbet dan menahan dagunya dengan kedua tangan.
"Seravine, Arthem. Kau?"
Balik bertanya? Oh rupanya mereka tidak saling mengenal. Tempat ini tidak terlalu asing padahal namun mengapa keberadaan orang satu sama lain tidak terasa sama sekali.
"Ah... Shein Einverd," menjawabnya agak terburu setelah meletakkan cangkir tehnya di atas tatakan bulat. Shein bahkan tidak mengenal siapa gerangan pria yang tengah menghidangkan sajian teh sore di halaman kediamannya. Penyusupkah ia?
"Ngomong-ngomong... kenapa Anda ada di sini?" Akhirnya pertanyaan penuh curiga itu dilontarkannya. Siapa tahu orang ini benar adalah penyusup. Tapi mana ada penyusup yang menghidangkan teh sore dengan begitu ramahnya.
Tuan Arthem mengubah posisi duduknya hingga bersandar, sangat santai dengan wajah berseri-seri. Lalu mengangkat cangkir tehnya, "Untuk minum teh bersama," menjawab lalu menyeruput isi cangkir tersebut.
Gerak-geriknya yang terkesan santai membuat Shein lantas memerhatikan orang ini lagi. Apakah ia anggota keluarga lain? Kalau Novaidon mungkin bukan tapi Reisvort bisa saja kan?
"Anda bukan anggota keluarga ini? Maksud saya di keluarga Einverd ini?" bertanya lagi. Hanya memastikan. Oh ya... ia memiliki tanggung jawab cukup berat sebagai kepala keluarga kan.
Arthem memutar gelar violetnya ke arah lain untuk beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan introgasi ini. "Bukan," menjawab ringan. "Tapi terpaksa iya," lagi-lagi jawaban menggantung.
Mencurigakan tapi tetap terasa nyaman,
Membingungkan tapi tetap terasa jelas,
Dingin tapi terasa hangat,
"Boleh tahu, Anda ini siapa?"
Tersenyum lagi... "Kelihatannya?" memutarbalikan arah pertanyaan. Inikah yang dinamakan uji kesabaran, atau justru uji kepintaran. "Kelihatannya kamu ini sedang bingung sendiri," tiba-tiba saja menyeletuk.
"Eh?" tidak sadar, Shein masih bingung dengan kata-kata tuan 'Teh' ini. "Maksudnya?"
... Mengangkat kembali cangkir tehnya, "Bunga Rosella indah namun sengaja dibuat kering untuk diambil kenikmatan lainnya," beranalogi sendiri. "Itulah yang dinamakan mengambil makna lain dari setiap keadaan," menyelesaikan bait analoginya dengan menyeruput teh hingga habis.
Shein hanya menggeleng mendengar bait yang diucapkan tuan aneh ini. Ia tidak mengerti apa yang dikatakannya, tapi mungkin itu adalah pembelajaran? Atau kata-kata dari pujangga istana yang tidak laku hingga harus diucapkan di hadapan orang lain.
"Tidak mengerti,"
Arthem hanya tersenyum lagi mendengar ungkapan tersebut. "Nanti juga akan mengerti," melanjutkan kata-katanya.
"Maksudnya semua ini terlalu aneh dan tidak dimengerti," mulai memrotesi keadaan. "Dari tehnya, bunganya, Anda sendiri dan... suasana di sini?"
"Asing?" melanjutkan kata-kata si pemuda Einverd. Arthem menuang lagi teh dari poci bulat pendek di tengah meja. "Satu bunga Rosella tidak akan menjadi asing, nikmati saja."
... "Haah~!" ia sama sekali tidak mengerti pada ungkapan demi ungkapan yang Arthem katakan. Pria ini terlalu aneh untuknya. Mengakhiri semua itu saja, "Yah sudahlah terserah apa katamu. Sepertinya waktuku habis untuk minum teh di sini."
Mengakhiri percakapan singkat tersebut. Kemudian Shein beranjak dari tempat duduknya sebelum mengucap hormat untuk meninggalkan tempat.
"Rosella, suatu saat kalau menemukannya maka kau akan teringat makna suatu hal."
Sebelumnya Arthem sempat berpesan, namun kata itu lagi-lagi hanya menjadi angin lalu di telinga Shein yang tengah berada di puncak kepenatannya.
--makna?
-------------------------------::::::::::::::::::::::::--------------------------------
Rosella...
"BANGUN!!"
Sebuah teriakan membangunkannya. Oh ya, sampai di mana tadi? Di mana ini? Tuan muda Einverd tengah membaringkan kepalanya di atas sebuah buku. Oh dear tertidur lagikah ia?
"Kenapa hobi sekali sih tiduran di atas buku?" sergah Lilica cepat ketika melihat 'kakeknya' itu lagi-lagi melakukan rutinitas aneh.
Akhirnya sadar bahwa benar ia tertidur di atas buku. Itu masih buku yang sama dengan beberapa hari yang lalu, buku tentang 'bagaimana cara mengandalikan chain' yang ditulis oleh seseorang berinisial A.S. . Tidak penting siapa penulisnya... terpenting adalah,
"Hey ada sesuatu menempel di wajahmu tuh!" ucap Lilica lagi sambil menunjuk-nunjuk butiran merah di pipi Shein.
Tuan berambut putih ini lalu mengambilnya dan tersadar... "Rosella?"
"Ada apa dengan Rosella?" si bocah bertanya-tanya tidak sabaran, masak sih Shein mau membuat teh dari buku?
Matanya kemudian berpaut pada tulisan tangan di buku tersebut, akhirnya tersenyum mengerti. "Hm... dasar tuan Rosella," bergumam lagi setelah menemukan maknanya.
"Bicara apa sih?" protes Lilica yang ingin tahu.
Sambil beranjak berdiri kemudian Shein memasukan kelopak Rosella itu ke saku jasnya. "Tidak ada. Di mana Ivvi? Tiba-tiba saja aku ingin meminum Rosella Tea," ucapnya ringan.
Tanpa bermaksud tanpa berkata.
"Rosella, suatu saat kalau menemukannya maka kau akan teringat makna suatu hal."
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selesai satu *fuh~* nggak jelas ya ==!
Next is Lilica - Milk Tea
Last edited by Rheaffel on Fri Dec 18, 2009 10:46 pm; edited 2 times in total
Rheaffel- Member
- Posts : 1138
Points : 1193
Join date : 2009-07-03
Age : 32
Location : Hanamacchi
Character Bio
Character Name:
Status:
Job:
Re: [omake] A Cup of Tea [Honey Tea]
Part Two
Lilica Einverd - Milk Tea
... 'Ngiiing~'
Sebuah bunyi akan muncul jika Anda memutar-mutarkan satu dari jemari Anda di pinggiran sebuah gelas kaca bulat. Bunyi mendengung yang nyaring... dan indah. Melirik sekitarnya dengan tatapan beku, mengharap sebuah pengharapan kosong.
Dan...
"Selamat datang," tersenyum pada tamu keduanya. Melirik kursi kosong di sebelahnya, ah... kali ini nona muda, tidak sopan rasanya kalau hanya menunjuk kursi untuk menyuruhnya duduk bersama.
Tuan bergelas violet ini lantas mengambil langkah mendekati nona kecil yang hampir mengatupkan matanya. "Mau minum teh bersama?"
...
Sepertinya ia baru saja terbangun dari mimpi. Masih mengenakan pakaian tidur, berupa long dress tipis berwarna putih, dengan sedikit renda di sana-sini dan sandal rumah. Lilica terbangun di tempat tidurnya begitu mencium aroma susu yang pekat di hidungnya.
Pagi kah? Setiap pagi hidangan di meja makannya pasti adalah sepotong roti dan segelas susu. Susu putih yang cocok untuk pertumbuhan. Terserah apa kata orang-orang itu, yang pasti nona kecil ini tetap tidak menyukainya. Bukan tidak suka secara literal, hanya saja ia tidak suka diperlakukan seperti itu. Seperti layaknya anak-anak walau ia memang anak-anak.
Bola mata bundarnya melirik tuan yang tiba-tiba datang dan menawarkannya untuk minum teh bersama. "Eh?" agak menjaga jarak, "Tidak salah?" agak ragu juga rupanya.
Kelakuan nona kecil ini membuat tuan di sana tertawa geli. Bukan maksud menertawakan seorang lady, hanya ia menertawakan dirinya yang bahkan untuk seorang nona kecil saja begitu terlihat mencurigakan. "Tidak usah khawatir, saya tidak akan meracuni Anda."
Tawaran ramah itu menggerakkan hati beku Lilica. Lama rasanya tidak melihat keramahan seperti itu. Dan akhirnya kini ia duduk di sana bersama tuan pemilik orb berwarna ungu. Indah.
...
Pancaran matanya menilik gelas-gelas berwarna biru dengan ornamen singa dan unicorn sedang berbaur satu. Bangsawan mana yang mengoleksi benda seperti ini? Harganya pasti mahal dan... rajin sekali ada yang mau mencarinya.
"Silakan," tuan rumah menaruh gelas berisi teh berwarna coklat pudar di atas tatakan bulat di meja depan Lilica.
Nona kecil ini lantas memutari pinggiran gelasnya. Tidak ada bunyi yang mendengung. Tentu saja, karena cangkir itu tidak bundar, melainkan terdapat lekukan di sana-sini. Menerawang jauh ke dalam isinya.
"Hm... tidak meminumnya?" tuan pemilik bertanya lagi sembari menaruh cangkirnya di atas tatakan pisin. Ia baru saja meminumnya dan kini menunggu tamunya untuk melakukan hal yang sama. Orb violetnya memantulkan pemandangan sekitar, terasa asing... dan sedikit terdapat unsur ancaman sepertinya.
... Lilica terdiam sebentar, memandangi isi cangkir itu lalu pada tuan di depannya. "Bagaimana kalau benar ada racunnya?" curiga lagi.
"Hmp..." dan lagi-lagi tuan ini menahan tawanya. Nona kecil ini memang nampak lucu di matanya, sepertinya. "Tidak mungkin saya meracuni Anda," ucapnya lagi.
"Mungkin saja," bantah Lilica singkat.
"Untuk apa memangnya saya melakukan itu?"
... untuk apa? Benar juga, memangnya untuk apa ada orang yang mau membunuhnya. Bercerminlah nona, kau bukan siapa-siapa. Tidak ada yang mengusikmu selama ini bukannya mereka jahat tapi karena mereka tidak menginginkan apa-apa darimu.
Menyunggingkan senyumnya. "Benar juga, memangnya untuk apa," ucap Lilica pelan lalu menghirup teh di cangkirnya. Dan tertahan begitu rasa manis itu lumat di lidahnya. "Teh apa ini?" menatap tuan pemilik dengan curiga.
"Milk Tea," berucap pelan sambil meminum kembali miliknya.
"Milk? Susu maksudnya?" bertanya lagi. Penasaran.
Tersenyum, dengan anggukkan pelan. "Rasanya seperti itu kan?"
"Karena aku anak-anak makanya kau menyeduhkan Milk Tea?" memrotesnya. Lagi-lagi diperlakukan seperti itu. Tidak bisakah semua orang memandangnya dengan pandangan lebih normal dari biasanya?
... Tuan rumah menggeleng. "Susu bukan minuman anak kecil kan," memasang tampang serba tidak ingin disalahkan. Lalu menaikkan alisnya ke posisi yang lebih tinggi dan tersenyum lagi. "Para Lady dan Lord menyukai Milk Tea," memulai filosofinya, lagi. "Tidak selamanya yang putih akan bersatu menjadi putih... kebaikan tidak dilihat dari warnanya Nona, tapi rasanya. Kau akan tahu rasanya jika kau sudah mencobanya."
...
'this is it?'
Lilica kembali menaruh cangkirnya dengan pandangan semu. Begitu kah?
"Sok tahu," kembali mengelak dari kenyataan yang ada. "Kau ini sok tahu sekali sih! Memangnya aku ini anak-anak yang selalu harus dinasihati apa?!"
Menggeleng lagi. "Bukankah selamanya anak-anak adalah anak-anak?" tuan ini berbicara lagi. Menentang apa yang barusan dikatakan oleh Lady di hadapannya. "Dan selamanya seorang Lady adalah Lady, nona," bersikap seperti itu lagi. Dengan sunggingan senyumnya.
--kesal
"Dasar orang tua menyebalkan!" kemudian membanting tangan ke atas mejanya.
Lilica kesal? Lilica marah? Apa yang kau inginkan nona?
Tuan pemilik lantas merebahkan diri di punggung kursinya, menaruh tangan di lengan kursinya dan menatap halus nona kecil ambisius di hadapannya. "Aku selalu berharap bisa marah-marah sepertimu, juga berharap bisa menolak ungkapan orang dewasa sepertimu," berhenti sejenak. "Tapi sayangnya masa itu telah selesai..."
Tidak mengerti. Jelas tidak mengerti, toh tuan ini dari tadi hanya bicara setengah-setengah. Ah! Mengenalnya saja Lilica tidak, kenapa pula ia harus mau diajak minum segelas teh yang berbaur dengan susu dengan orang menyebalkan ini. Lagipula, bagaimana jika orang ini ternyata adalah penjahat? Haruskah ia berteriak memanggil penjahat sekarang?
"Kau beruntung... hatimu putih seperti susu yang terperangkap dalam coklatnya teh," kembali berujar lagi dengan nada parau. Sendu... sedihkah ia?
... ungkapan yang berbeda? Kali ini sedikit terperanjat. Maksudnya pujian kah? Orang ini memujinya kah? Sejenak Lilica menepiskan wajahnya ke arah lain, tidak ingin mendengarnya lagi. Ia terbiasa dengan bentakan, selaan, dan kata-kata kotor lainnya. Kenapa tiba-tiba orang yang baru bertemu dengannya ini bisa memujinya dengan filosofi aneh semacam itu.
"Ja... jangan memuji! Memangnya kau ini siapa?!" mengelak lagi. Haruskah ia selalu begitu? Lari dari kenyataan yang ada.
"Itu bukan pujian nona, itu adalah ungkapan dari apa yang bisa kulihat," menjawabnya dengan tenang sembari bermain dengan tehnya. "Kau tidak akan bisa melihat dirimu sendiri tanpa bantuan dari orang lain."
Ya, sepertinya itu benar. Tapi tidak juga.
Lilica mengangkat tubuh mungilnya dari tempat itu. "Percuma memujiku!" kemudian berjalan kecil meninggalkan tempat tersebut. Ia lari... lari lagi, haruskah? Walau terus berpikir dan mengiyakan apa yang dikatakan pria ini.
Menjauhinya, sebaiknya ia menjauh dari sana sebelum pikirannya dicuci oleh si pembuat teh aneh ini. Tapi... berkali-kali hati kecilnya tersenyum mendengar kata-kata itu, ingin kembali dan berterima kasih walau ingin menjauh untuk tidak lagi mendengarkannya.
Langkahnya kemudian terhenti. Berbalik menatap lingkaran violet tersebut. "Namamu! Siapa namamu?!" bertanya dengan seruan. Bukan tradisi yang baik untuk seorang Lady.
... "Seravine, Arthem."
Setelah mendapatkan jawabannya, ia lalu berlari menuju dunianya. Kembali pada hatinya... coklat, keruh, di dalam putih.
"Uhm..." mengerlip sejenak, menahan sinaran yang masuk melalui pupilnya.
"Lady Lilica, Anda sudah bangun?" sebuah suara nyaring... membangunkannya. Eh? Sejak kapan ia tertidur di sana.
"Loh, Ivvi?" melihat sesosok chain dengan rambut terkepang sedang duduk di sampingnya. "Kenapa jadi kau yang di sini?" bertanya lagi, masih agak lupa-lupa ingat dengan kejadian sebelumnya.
"Tadi kita sedang minum teh lalu Anda tertidur," Ivvi menjawab dengan santai. Ah benar, rupanya Lilica tertidur di acara perjamuan teh itu.
Ia lalu memandangi cangkir tehnya yang masih terisi penuh, kemudian meminumnya. "Hm... ini teh biasa?"
"Memang teh biasa kan?" menimpali komentar tersebut. "Kenapa?" sedikit penasaran.
Lilica kemudian melirik maid yang ada di sampingnya. "Tambahkan susu, aku ingin Milk Tea," menyerahkan cangkir teh itu pada maid tersebut kemudian menunggunya.
... Ia ingin merasakannya lagi. Kebaikan putih di dalam keruhnya air coklat bening.
"Karena yang putih tidak seputih apa yang terlihat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIN THAT :3~b
Next is Ivvi - Honey Tea
Lilica Einverd - Milk Tea
-the Pure White doesn't always like the color-
... 'Ngiiing~'
Sebuah bunyi akan muncul jika Anda memutar-mutarkan satu dari jemari Anda di pinggiran sebuah gelas kaca bulat. Bunyi mendengung yang nyaring... dan indah. Melirik sekitarnya dengan tatapan beku, mengharap sebuah pengharapan kosong.
Dan...
"Selamat datang," tersenyum pada tamu keduanya. Melirik kursi kosong di sebelahnya, ah... kali ini nona muda, tidak sopan rasanya kalau hanya menunjuk kursi untuk menyuruhnya duduk bersama.
Tuan bergelas violet ini lantas mengambil langkah mendekati nona kecil yang hampir mengatupkan matanya. "Mau minum teh bersama?"
...
Sepertinya ia baru saja terbangun dari mimpi. Masih mengenakan pakaian tidur, berupa long dress tipis berwarna putih, dengan sedikit renda di sana-sini dan sandal rumah. Lilica terbangun di tempat tidurnya begitu mencium aroma susu yang pekat di hidungnya.
Pagi kah? Setiap pagi hidangan di meja makannya pasti adalah sepotong roti dan segelas susu. Susu putih yang cocok untuk pertumbuhan. Terserah apa kata orang-orang itu, yang pasti nona kecil ini tetap tidak menyukainya. Bukan tidak suka secara literal, hanya saja ia tidak suka diperlakukan seperti itu. Seperti layaknya anak-anak walau ia memang anak-anak.
Bola mata bundarnya melirik tuan yang tiba-tiba datang dan menawarkannya untuk minum teh bersama. "Eh?" agak menjaga jarak, "Tidak salah?" agak ragu juga rupanya.
Kelakuan nona kecil ini membuat tuan di sana tertawa geli. Bukan maksud menertawakan seorang lady, hanya ia menertawakan dirinya yang bahkan untuk seorang nona kecil saja begitu terlihat mencurigakan. "Tidak usah khawatir, saya tidak akan meracuni Anda."
Tawaran ramah itu menggerakkan hati beku Lilica. Lama rasanya tidak melihat keramahan seperti itu. Dan akhirnya kini ia duduk di sana bersama tuan pemilik orb berwarna ungu. Indah.
...
Pancaran matanya menilik gelas-gelas berwarna biru dengan ornamen singa dan unicorn sedang berbaur satu. Bangsawan mana yang mengoleksi benda seperti ini? Harganya pasti mahal dan... rajin sekali ada yang mau mencarinya.
"Silakan," tuan rumah menaruh gelas berisi teh berwarna coklat pudar di atas tatakan bulat di meja depan Lilica.
Nona kecil ini lantas memutari pinggiran gelasnya. Tidak ada bunyi yang mendengung. Tentu saja, karena cangkir itu tidak bundar, melainkan terdapat lekukan di sana-sini. Menerawang jauh ke dalam isinya.
"Hm... tidak meminumnya?" tuan pemilik bertanya lagi sembari menaruh cangkirnya di atas tatakan pisin. Ia baru saja meminumnya dan kini menunggu tamunya untuk melakukan hal yang sama. Orb violetnya memantulkan pemandangan sekitar, terasa asing... dan sedikit terdapat unsur ancaman sepertinya.
... Lilica terdiam sebentar, memandangi isi cangkir itu lalu pada tuan di depannya. "Bagaimana kalau benar ada racunnya?" curiga lagi.
"Hmp..." dan lagi-lagi tuan ini menahan tawanya. Nona kecil ini memang nampak lucu di matanya, sepertinya. "Tidak mungkin saya meracuni Anda," ucapnya lagi.
"Mungkin saja," bantah Lilica singkat.
"Untuk apa memangnya saya melakukan itu?"
... untuk apa? Benar juga, memangnya untuk apa ada orang yang mau membunuhnya. Bercerminlah nona, kau bukan siapa-siapa. Tidak ada yang mengusikmu selama ini bukannya mereka jahat tapi karena mereka tidak menginginkan apa-apa darimu.
Menyunggingkan senyumnya. "Benar juga, memangnya untuk apa," ucap Lilica pelan lalu menghirup teh di cangkirnya. Dan tertahan begitu rasa manis itu lumat di lidahnya. "Teh apa ini?" menatap tuan pemilik dengan curiga.
"Milk Tea," berucap pelan sambil meminum kembali miliknya.
"Milk? Susu maksudnya?" bertanya lagi. Penasaran.
Tersenyum, dengan anggukkan pelan. "Rasanya seperti itu kan?"
"Karena aku anak-anak makanya kau menyeduhkan Milk Tea?" memrotesnya. Lagi-lagi diperlakukan seperti itu. Tidak bisakah semua orang memandangnya dengan pandangan lebih normal dari biasanya?
... Tuan rumah menggeleng. "Susu bukan minuman anak kecil kan," memasang tampang serba tidak ingin disalahkan. Lalu menaikkan alisnya ke posisi yang lebih tinggi dan tersenyum lagi. "Para Lady dan Lord menyukai Milk Tea," memulai filosofinya, lagi. "Tidak selamanya yang putih akan bersatu menjadi putih... kebaikan tidak dilihat dari warnanya Nona, tapi rasanya. Kau akan tahu rasanya jika kau sudah mencobanya."
...
'this is it?'
Lilica kembali menaruh cangkirnya dengan pandangan semu. Begitu kah?
"Sok tahu," kembali mengelak dari kenyataan yang ada. "Kau ini sok tahu sekali sih! Memangnya aku ini anak-anak yang selalu harus dinasihati apa?!"
Menggeleng lagi. "Bukankah selamanya anak-anak adalah anak-anak?" tuan ini berbicara lagi. Menentang apa yang barusan dikatakan oleh Lady di hadapannya. "Dan selamanya seorang Lady adalah Lady, nona," bersikap seperti itu lagi. Dengan sunggingan senyumnya.
--kesal
"Dasar orang tua menyebalkan!" kemudian membanting tangan ke atas mejanya.
Lilica kesal? Lilica marah? Apa yang kau inginkan nona?
Tuan pemilik lantas merebahkan diri di punggung kursinya, menaruh tangan di lengan kursinya dan menatap halus nona kecil ambisius di hadapannya. "Aku selalu berharap bisa marah-marah sepertimu, juga berharap bisa menolak ungkapan orang dewasa sepertimu," berhenti sejenak. "Tapi sayangnya masa itu telah selesai..."
Tidak mengerti. Jelas tidak mengerti, toh tuan ini dari tadi hanya bicara setengah-setengah. Ah! Mengenalnya saja Lilica tidak, kenapa pula ia harus mau diajak minum segelas teh yang berbaur dengan susu dengan orang menyebalkan ini. Lagipula, bagaimana jika orang ini ternyata adalah penjahat? Haruskah ia berteriak memanggil penjahat sekarang?
"Kau beruntung... hatimu putih seperti susu yang terperangkap dalam coklatnya teh," kembali berujar lagi dengan nada parau. Sendu... sedihkah ia?
... ungkapan yang berbeda? Kali ini sedikit terperanjat. Maksudnya pujian kah? Orang ini memujinya kah? Sejenak Lilica menepiskan wajahnya ke arah lain, tidak ingin mendengarnya lagi. Ia terbiasa dengan bentakan, selaan, dan kata-kata kotor lainnya. Kenapa tiba-tiba orang yang baru bertemu dengannya ini bisa memujinya dengan filosofi aneh semacam itu.
"Ja... jangan memuji! Memangnya kau ini siapa?!" mengelak lagi. Haruskah ia selalu begitu? Lari dari kenyataan yang ada.
"Itu bukan pujian nona, itu adalah ungkapan dari apa yang bisa kulihat," menjawabnya dengan tenang sembari bermain dengan tehnya. "Kau tidak akan bisa melihat dirimu sendiri tanpa bantuan dari orang lain."
Ya, sepertinya itu benar. Tapi tidak juga.
Lilica mengangkat tubuh mungilnya dari tempat itu. "Percuma memujiku!" kemudian berjalan kecil meninggalkan tempat tersebut. Ia lari... lari lagi, haruskah? Walau terus berpikir dan mengiyakan apa yang dikatakan pria ini.
Menjauhinya, sebaiknya ia menjauh dari sana sebelum pikirannya dicuci oleh si pembuat teh aneh ini. Tapi... berkali-kali hati kecilnya tersenyum mendengar kata-kata itu, ingin kembali dan berterima kasih walau ingin menjauh untuk tidak lagi mendengarkannya.
Langkahnya kemudian terhenti. Berbalik menatap lingkaran violet tersebut. "Namamu! Siapa namamu?!" bertanya dengan seruan. Bukan tradisi yang baik untuk seorang Lady.
... "Seravine, Arthem."
Setelah mendapatkan jawabannya, ia lalu berlari menuju dunianya. Kembali pada hatinya... coklat, keruh, di dalam putih.
-------------------------------::::::::::::::::::::::::--------------------------------
"Uhm..." mengerlip sejenak, menahan sinaran yang masuk melalui pupilnya.
"Lady Lilica, Anda sudah bangun?" sebuah suara nyaring... membangunkannya. Eh? Sejak kapan ia tertidur di sana.
"Loh, Ivvi?" melihat sesosok chain dengan rambut terkepang sedang duduk di sampingnya. "Kenapa jadi kau yang di sini?" bertanya lagi, masih agak lupa-lupa ingat dengan kejadian sebelumnya.
"Tadi kita sedang minum teh lalu Anda tertidur," Ivvi menjawab dengan santai. Ah benar, rupanya Lilica tertidur di acara perjamuan teh itu.
Ia lalu memandangi cangkir tehnya yang masih terisi penuh, kemudian meminumnya. "Hm... ini teh biasa?"
"Memang teh biasa kan?" menimpali komentar tersebut. "Kenapa?" sedikit penasaran.
Lilica kemudian melirik maid yang ada di sampingnya. "Tambahkan susu, aku ingin Milk Tea," menyerahkan cangkir teh itu pada maid tersebut kemudian menunggunya.
... Ia ingin merasakannya lagi. Kebaikan putih di dalam keruhnya air coklat bening.
"Karena yang putih tidak seputih apa yang terlihat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIN THAT :3~b
Next is Ivvi - Honey Tea
Rheaffel- Member
- Posts : 1138
Points : 1193
Join date : 2009-07-03
Age : 32
Location : Hanamacchi
Character Bio
Character Name:
Status:
Job:
Re: [omake] A Cup of Tea [Honey Tea]
Part Three
Ivvi Violeyne - Honey Tea
clak...
clak...
Lelehan embun memugari isi taman berhias aroma madu pekat nan manis. Pagi berembun seperti halnya sayup-sayup suara kicau burung yang sama sekali tidak terlihat rupanya. Satu tangan bersanding pada gagang tangga putih yang dililit daun rambatan hijau muda dengan bunganya yang khas. Nona berambut kepang itu menuruni tangga perlahan, tidak jelas ke mana arah tujuannya hanya bisa terus jalan sambil mencium wewangian yang ada.
... tak,
Derap langkahnya sampai membawa sosok itu ke hadapan sebuah meja kosong. Tempat penyajian teh dengan beberapa cangkir tertelungkup, sebuah teko yang berukiran indah, mengepulkan asap abu nan wangi. Harum madu yang kental.
"Halo~"
Sebuah tepukan ringan beradu dengan bahunya. Agak sedikit terperanjat nona berkepang ini segela berbalik arah, mengayunkan tangan mungilnya pada sosok yang hanya bisa memberikan cengiran akan kejadian itu. Hampir saja berakibat pukulan jika tangan itu tidak berhenti begitu memerhatikan sosok dengan wajah bodohnya di sana.
"Uh?"
Secara perlahan menurunkan tangannya. Kaget, dikiranya sosok itu adalah sang tuan terkasih yang biasa mengerjainya dengan beragam hal jahil, bahkan di pagi buta sekalipun.
"Maaf, saya kira Anda..."
Sosok pemilik orb violet yang tadi hampir dipukulnya hanya melangkah pelan mendekati meja bertaplak putih tersebut. Seakan tidak tersinggung dengan kelakuan Lady yang bisa dibilang agak spontan ini. "Saya? Siapa?" balik bertanya, kemudian menarik satu kursi di sana untuk memersilakan tamunya duduk. "Mau minum teh bersama?"
Sebuah tawaran yang tidak terduga. Oh... kehilangan akal nona berkepang satu ini, ia tidak tahu harus berbuat apa di tempat asing yang... yang kenapa ia bisa ada di sini? Ini bukan tempatnya walau ia tahu bahwa tempat ini masih berada di kediaman sang pangeran.
Menganggukkan kepala ringan, menyetujui tawaran itu tanpa banyak bertanya. Dear, tidak takutkah kalau ia menculikmu? Atau kalau ia meracunimu? Semua kecurigaan itu sirna ketika sang pemilik orb violet menuangkan cairan coklat pekat ke dalam sebuah cangkir berorientasikan bunga krisan merah-kuning.
--manis?
"Te... terima kasih," ucap sang nona canggung begitu pria di hadapannya ini menyodorkan gelas teh padanya. Menatap bulatan coklat yang mengambang berubah menjadi emas, kemudian balik coklat.
Ragu, kini keraguan muncul untuk meminumnya. Bolehkah ia mencicipi wangi manis tersebut? Memerhatikan sosok yang tenang di hadapannya ketika meminum teh tersebut, mengikuti gerak minumnya dan mulai merasakan cairan hangat nan manis itu menjalari isi mulutnya.
"Manis..." hanya berungkap singkat, mencium kembali aroma madunya, kemudian menegaknya lagi. "Ini teh...?"
"Madu," tuan itu menjawabnya tegas. Sembari mengulas senyum dan menaruh cangkir teh pada tatakannya. "Manis kan?" bertanya kembali, memertegas apa yang dimaksudnya dengan teh tersebut.
Nona berkepang ini mengangguk tenang, lalu menghirup tehnya lagi. Ia menyukainya, rasanya, wanginya... segala dari teh itu membuatnya nyaman. Rasa panasnya melebur hilang, berubah menjadi rasa nyaman ketika meminumnya... hangat.
Dan tersadar, "Ah! Maaf saya jadi menikmatinya sendiri begini!" kehilangan kendali atas dirinya ketika menikmati hidangan yang ada. Sementara tanpa ia sadar lagi, tuan di hadapannya ini malah memangku tangan dan nampak sedang mengamati tingkah bodohnya.
--Ack, bodoh!
"Hihihi... tidak apa, seorang Lady-pun pantas untuk berekspresi demikian," hanya terkekeh sejenak kemudian mengangkat pangkuan tangannya perlahan. Bukan merasa lucu, hanya sedikit rindu dengan ekspresi serba salah seperti itu. Ah, lama rasanya membayangkan sosok itu tidak bersamanya lagi.
... "Jadi?" sebuah tanya pendek untuk menghapus sebuah lamunan.
"Ah maaf, giliran saya jadi yang melamun," ungkap tuan ber-orb violet ini tenang. Lalu menuang lagi teh pada cangkirnya yang sebenarnya belum terlalu kosong. Ia turut salah tingkah karena pengaruh madu yang manis.
Setelah beberapa detik saling terdiam, merasa teh di cangkirnya tinggal setengah isian lagi, akhirnya sebuah tanya terbesit di benak sang nona. "Eng... kalau boleh tahu Anda ini siapa ya?" begitu bodoh dirinya karena baru bertanya setelah disuguhi banyak kebaikan. Jika dipikir-pikir, orang ini memang mirip dengan seseorang.
Sang tuan hanya tersenyum sembari mengangkat cangkir tehnya, "Tidak sopan Nona memertanyakan identitas orang lain tanpa memerkenalkan diri Anda sendiri." Ucapnya penuh kesopanan, oh sanjungan seorang tuan bangsawan rupanya.
"A... Ah ya! Maaf, ehm..." agak tidak terbiasa soal itu. Biasanya ia kan langsung saja pada titik permasalahan yang ada, tidak pernah berbasa-basi-busuk macam itu. "Nama, nama saya Ivvi. Ivvi Violeyne."
Tersenyum lagi. "Oh, Lady Ivvi rupanya. Nama saya Seravine Arthem, Anda boleh memberikan panggilan apa saja."
"Se... seravine? Eh, Anda bukan anggota keluarga ini? Maksud saya keluarga Einverd ini?" bertanya lagi penasaran. Ivvi menolehkan pandangannya, mengingat-ingat pemandangan di sana. Benar, ini masih kediaman Einverd yang biasanya. Ia tidak tersesat ke rumah bangsawan lainnya kan?
Terkekeh sejenak mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang memang pantas untuknya. "Ehm, saya memang bukan anggota keluarga ini. Tapi saya tinggal di sini."
... "Oh," akhirnya mengetahui kebenaran itu. Ah, mungkin orang ini sama seperti dirinya? Maksudnya memang dia chain juga? Sepertinya tidak begitu. Tanpa disadari Ivvi melenggangkan rasa keingintahuannya melebihi batas pada tuan yang menawarkannya teh ini. Dia... ehm?
"Kenapa? Merasa aneh?" tanya Arthem pelan, ia tahu pandangan penasaran itu. Semua orang memerlihatkan hal semacam itu padanya. Kembali memainkan cangkir tehnya, memutarnya ke kiri dan ke kanan. "Bukankah secangkir teh sudah manis... kenapa harus ditambahkan madu ya?" memulai permainan tanyanya.
"Huh?" Ivvi berkelit dari pikiran penuh tanyanya, berbalik dengan pertanyaan yang lebih banyak. Memikirkan perkataan Arthem barusan. Memerhatikan kembali cangkir tehnya. "Benar juga," menyadari hal yang sama.
"Menurutmu apa kesamaan esensi gula dan madu dalam teh?" menanyakan hal yang luar biasa pasti tidak terbayangkan oleh nona chain ini. Arthem memang keterlaluan dalam berfilosofi, ia bahkan berfilosofi mengenai gula dan madu. Bukan, gula dan racun.
Mendengar pertanyaan yang sepertinya memiliki makna dalam itu, Ivvi hanya menggeleng. Oh... ia menyerah dengan permainan macam ini. Kenapa ada orang seperti itu yang mengajaknya diskusi. Ia pikir ini hanya acara minum teh biasa saja.
"Hmp... tenanglah nona, saya tidak ingin membuat Anda bingung," ucap Arthem begitu melihat ekspresi yang ditimbulkan oleh wajah manis Ivvi. Ia tahu ekspresi macam itu beberapa tahun silam.
... "Karena sesungguhnya madu bukanlah pemanis. Madu adalah racun." Melanjutkan kata-kata yang membuat sang nona semakin terdiam dalam duduknya. Membuka mata lebar menatap orb violet yang nampak menyipit seiring dengan perkataannya.
"Bagi yang tersayang madu adalah manis, namun terkadang akan berbuih racun jika kau salah mengambilnya. Sengatannya akan membuatmu mati karena begitu ingin memilikinya.... Tahu?"
Gelengan pelan lagi. "Tidak," menjawabnya singkat.
Arthem menjajarkan dua buah sendok teh di atas meja. "Ketika manusia menghasilkan madunya, mereka tidak hanya menyimpannya, namun membaginya.... Tahu?"
Gelengan dan terdiam. Memikirkan apa maksudnya... sesuatu yang dihasilkan manusia bukanlah madu kan? Tapi hm... "Perasaan?" mengucapkan kata itu karena itulah kata yang selama ini mengusiknya, "Cinta?"
"Tepat!" ucapan cepat dari Arthem sembari mengacungkan sendok teh tersebut ke hadapan Ivvi. Kemudian memasukannya lagi ke dalam cangkir teh miliknya, mengaduk-aduk pelan. "Madulah yang membuat lebah hidup, dan madu pula yang membuat mereka mati."
Masih ingat ia dengan kecamuk perasaan pilu nan syahdu di dalam hatinya. Kilasan pertemuan dengan sang pangeran dan beragam hal yang terjadi setelahnya. "Madu itu... harus kita apakan?" pertanyaan lagi ketika mengerti sepenuhnya.
Kini giliran sang tuan penghidang teh yang menggeleng, "Tanyakan pada hatimu."
"Haaah! Kukira ia ada di sini, eh?"
Terpaut sembari membuka mata kecilnya yang pilu, pekat dengan butiran air mata di sekeliling kelopak tidurnya. "Hm..." menemukan sosok berambut putih di sana, tengah berdiri. "Zeno?"
"Loh, Ivvi... ah membangunkanmu ya?" terkaget. Chain es ini lantas kehilangan arah. Ia memang agak kebingungan ketika berjalan dan menemukan rekan sesama ilegal chain-nya terbaring di ujung tangga sana. "Lain kali jangan tidur di sini..."
Anggukkan pelan. Tidak begitu ingat dengan mimpinya... kemudian melirik tamu tersebut. "Sedang apa?" bertanya pelan.
"Melihat nona Claire?" bertanya langsung saja pada topiknya.
Gelengan pelan. Teringat akan sesuatu, "Kau mencari madumu?" lintasan kata itu terbesit cepat
tanpa mengerti makna sebenarnya. Hanya mengingat saja.
"Maksudnya?" balik bertanya. "Oh Ivvi... kau pasti sedang mengigau. Sana, sebaiknya tidur kembali di kamarmu atau kau masih bermimpi ya?"
Menggeleng, terdiam, lantas tersenyum... "Tidak." Dan sekarang tahu apa maknanya.
"Madulah yang membuat lebah hidup, dan madu pula yang membuat mereka mati."
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIN THAT >w<b
Next is Zeno - Mint Tea
Ivvi Violeyne - Honey Tea
-the Dearest one,
clak...
clak...
Lelehan embun memugari isi taman berhias aroma madu pekat nan manis. Pagi berembun seperti halnya sayup-sayup suara kicau burung yang sama sekali tidak terlihat rupanya. Satu tangan bersanding pada gagang tangga putih yang dililit daun rambatan hijau muda dengan bunganya yang khas. Nona berambut kepang itu menuruni tangga perlahan, tidak jelas ke mana arah tujuannya hanya bisa terus jalan sambil mencium wewangian yang ada.
... tak,
Derap langkahnya sampai membawa sosok itu ke hadapan sebuah meja kosong. Tempat penyajian teh dengan beberapa cangkir tertelungkup, sebuah teko yang berukiran indah, mengepulkan asap abu nan wangi. Harum madu yang kental.
"Halo~"
Sebuah tepukan ringan beradu dengan bahunya. Agak sedikit terperanjat nona berkepang ini segela berbalik arah, mengayunkan tangan mungilnya pada sosok yang hanya bisa memberikan cengiran akan kejadian itu. Hampir saja berakibat pukulan jika tangan itu tidak berhenti begitu memerhatikan sosok dengan wajah bodohnya di sana.
"Uh?"
Secara perlahan menurunkan tangannya. Kaget, dikiranya sosok itu adalah sang tuan terkasih yang biasa mengerjainya dengan beragam hal jahil, bahkan di pagi buta sekalipun.
"Maaf, saya kira Anda..."
Sosok pemilik orb violet yang tadi hampir dipukulnya hanya melangkah pelan mendekati meja bertaplak putih tersebut. Seakan tidak tersinggung dengan kelakuan Lady yang bisa dibilang agak spontan ini. "Saya? Siapa?" balik bertanya, kemudian menarik satu kursi di sana untuk memersilakan tamunya duduk. "Mau minum teh bersama?"
Sebuah tawaran yang tidak terduga. Oh... kehilangan akal nona berkepang satu ini, ia tidak tahu harus berbuat apa di tempat asing yang... yang kenapa ia bisa ada di sini? Ini bukan tempatnya walau ia tahu bahwa tempat ini masih berada di kediaman sang pangeran.
Menganggukkan kepala ringan, menyetujui tawaran itu tanpa banyak bertanya. Dear, tidak takutkah kalau ia menculikmu? Atau kalau ia meracunimu? Semua kecurigaan itu sirna ketika sang pemilik orb violet menuangkan cairan coklat pekat ke dalam sebuah cangkir berorientasikan bunga krisan merah-kuning.
--manis?
"Te... terima kasih," ucap sang nona canggung begitu pria di hadapannya ini menyodorkan gelas teh padanya. Menatap bulatan coklat yang mengambang berubah menjadi emas, kemudian balik coklat.
Ragu, kini keraguan muncul untuk meminumnya. Bolehkah ia mencicipi wangi manis tersebut? Memerhatikan sosok yang tenang di hadapannya ketika meminum teh tersebut, mengikuti gerak minumnya dan mulai merasakan cairan hangat nan manis itu menjalari isi mulutnya.
"Manis..." hanya berungkap singkat, mencium kembali aroma madunya, kemudian menegaknya lagi. "Ini teh...?"
"Madu," tuan itu menjawabnya tegas. Sembari mengulas senyum dan menaruh cangkir teh pada tatakannya. "Manis kan?" bertanya kembali, memertegas apa yang dimaksudnya dengan teh tersebut.
Nona berkepang ini mengangguk tenang, lalu menghirup tehnya lagi. Ia menyukainya, rasanya, wanginya... segala dari teh itu membuatnya nyaman. Rasa panasnya melebur hilang, berubah menjadi rasa nyaman ketika meminumnya... hangat.
Dan tersadar, "Ah! Maaf saya jadi menikmatinya sendiri begini!" kehilangan kendali atas dirinya ketika menikmati hidangan yang ada. Sementara tanpa ia sadar lagi, tuan di hadapannya ini malah memangku tangan dan nampak sedang mengamati tingkah bodohnya.
--Ack, bodoh!
"Hihihi... tidak apa, seorang Lady-pun pantas untuk berekspresi demikian," hanya terkekeh sejenak kemudian mengangkat pangkuan tangannya perlahan. Bukan merasa lucu, hanya sedikit rindu dengan ekspresi serba salah seperti itu. Ah, lama rasanya membayangkan sosok itu tidak bersamanya lagi.
... "Jadi?" sebuah tanya pendek untuk menghapus sebuah lamunan.
"Ah maaf, giliran saya jadi yang melamun," ungkap tuan ber-orb violet ini tenang. Lalu menuang lagi teh pada cangkirnya yang sebenarnya belum terlalu kosong. Ia turut salah tingkah karena pengaruh madu yang manis.
Setelah beberapa detik saling terdiam, merasa teh di cangkirnya tinggal setengah isian lagi, akhirnya sebuah tanya terbesit di benak sang nona. "Eng... kalau boleh tahu Anda ini siapa ya?" begitu bodoh dirinya karena baru bertanya setelah disuguhi banyak kebaikan. Jika dipikir-pikir, orang ini memang mirip dengan seseorang.
Sang tuan hanya tersenyum sembari mengangkat cangkir tehnya, "Tidak sopan Nona memertanyakan identitas orang lain tanpa memerkenalkan diri Anda sendiri." Ucapnya penuh kesopanan, oh sanjungan seorang tuan bangsawan rupanya.
"A... Ah ya! Maaf, ehm..." agak tidak terbiasa soal itu. Biasanya ia kan langsung saja pada titik permasalahan yang ada, tidak pernah berbasa-basi-busuk macam itu. "Nama, nama saya Ivvi. Ivvi Violeyne."
Tersenyum lagi. "Oh, Lady Ivvi rupanya. Nama saya Seravine Arthem, Anda boleh memberikan panggilan apa saja."
"Se... seravine? Eh, Anda bukan anggota keluarga ini? Maksud saya keluarga Einverd ini?" bertanya lagi penasaran. Ivvi menolehkan pandangannya, mengingat-ingat pemandangan di sana. Benar, ini masih kediaman Einverd yang biasanya. Ia tidak tersesat ke rumah bangsawan lainnya kan?
Terkekeh sejenak mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang memang pantas untuknya. "Ehm, saya memang bukan anggota keluarga ini. Tapi saya tinggal di sini."
... "Oh," akhirnya mengetahui kebenaran itu. Ah, mungkin orang ini sama seperti dirinya? Maksudnya memang dia chain juga? Sepertinya tidak begitu. Tanpa disadari Ivvi melenggangkan rasa keingintahuannya melebihi batas pada tuan yang menawarkannya teh ini. Dia... ehm?
"Kenapa? Merasa aneh?" tanya Arthem pelan, ia tahu pandangan penasaran itu. Semua orang memerlihatkan hal semacam itu padanya. Kembali memainkan cangkir tehnya, memutarnya ke kiri dan ke kanan. "Bukankah secangkir teh sudah manis... kenapa harus ditambahkan madu ya?" memulai permainan tanyanya.
"Huh?" Ivvi berkelit dari pikiran penuh tanyanya, berbalik dengan pertanyaan yang lebih banyak. Memikirkan perkataan Arthem barusan. Memerhatikan kembali cangkir tehnya. "Benar juga," menyadari hal yang sama.
"Menurutmu apa kesamaan esensi gula dan madu dalam teh?" menanyakan hal yang luar biasa pasti tidak terbayangkan oleh nona chain ini. Arthem memang keterlaluan dalam berfilosofi, ia bahkan berfilosofi mengenai gula dan madu. Bukan, gula dan racun.
Mendengar pertanyaan yang sepertinya memiliki makna dalam itu, Ivvi hanya menggeleng. Oh... ia menyerah dengan permainan macam ini. Kenapa ada orang seperti itu yang mengajaknya diskusi. Ia pikir ini hanya acara minum teh biasa saja.
"Hmp... tenanglah nona, saya tidak ingin membuat Anda bingung," ucap Arthem begitu melihat ekspresi yang ditimbulkan oleh wajah manis Ivvi. Ia tahu ekspresi macam itu beberapa tahun silam.
... "Karena sesungguhnya madu bukanlah pemanis. Madu adalah racun." Melanjutkan kata-kata yang membuat sang nona semakin terdiam dalam duduknya. Membuka mata lebar menatap orb violet yang nampak menyipit seiring dengan perkataannya.
"Bagi yang tersayang madu adalah manis, namun terkadang akan berbuih racun jika kau salah mengambilnya. Sengatannya akan membuatmu mati karena begitu ingin memilikinya.... Tahu?"
Gelengan pelan lagi. "Tidak," menjawabnya singkat.
Arthem menjajarkan dua buah sendok teh di atas meja. "Ketika manusia menghasilkan madunya, mereka tidak hanya menyimpannya, namun membaginya.... Tahu?"
Gelengan dan terdiam. Memikirkan apa maksudnya... sesuatu yang dihasilkan manusia bukanlah madu kan? Tapi hm... "Perasaan?" mengucapkan kata itu karena itulah kata yang selama ini mengusiknya, "Cinta?"
"Tepat!" ucapan cepat dari Arthem sembari mengacungkan sendok teh tersebut ke hadapan Ivvi. Kemudian memasukannya lagi ke dalam cangkir teh miliknya, mengaduk-aduk pelan. "Madulah yang membuat lebah hidup, dan madu pula yang membuat mereka mati."
Masih ingat ia dengan kecamuk perasaan pilu nan syahdu di dalam hatinya. Kilasan pertemuan dengan sang pangeran dan beragam hal yang terjadi setelahnya. "Madu itu... harus kita apakan?" pertanyaan lagi ketika mengerti sepenuhnya.
Kini giliran sang tuan penghidang teh yang menggeleng, "Tanyakan pada hatimu."
-------------------------------::::::::::::::::::::::::--------------------------------
"Haaah! Kukira ia ada di sini, eh?"
Terpaut sembari membuka mata kecilnya yang pilu, pekat dengan butiran air mata di sekeliling kelopak tidurnya. "Hm..." menemukan sosok berambut putih di sana, tengah berdiri. "Zeno?"
"Loh, Ivvi... ah membangunkanmu ya?" terkaget. Chain es ini lantas kehilangan arah. Ia memang agak kebingungan ketika berjalan dan menemukan rekan sesama ilegal chain-nya terbaring di ujung tangga sana. "Lain kali jangan tidur di sini..."
Anggukkan pelan. Tidak begitu ingat dengan mimpinya... kemudian melirik tamu tersebut. "Sedang apa?" bertanya pelan.
"Melihat nona Claire?" bertanya langsung saja pada topiknya.
Gelengan pelan. Teringat akan sesuatu, "Kau mencari madumu?" lintasan kata itu terbesit cepat
tanpa mengerti makna sebenarnya. Hanya mengingat saja.
"Maksudnya?" balik bertanya. "Oh Ivvi... kau pasti sedang mengigau. Sana, sebaiknya tidur kembali di kamarmu atau kau masih bermimpi ya?"
Menggeleng, terdiam, lantas tersenyum... "Tidak." Dan sekarang tahu apa maknanya.
"Madulah yang membuat lebah hidup, dan madu pula yang membuat mereka mati."
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIN THAT >w<b
Next is Zeno - Mint Tea
Rheaffel- Member
- Posts : 1138
Points : 1193
Join date : 2009-07-03
Age : 32
Location : Hanamacchi
Character Bio
Character Name:
Status:
Job:
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum