Log in
Similar topics
Who is online?
In total there are 3 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 3 Guests None
Most users ever online was 313 on Sat Oct 05, 2024 9:26 pm
Search
Latest topics
» Absensi di siniby Kaz Sun Sep 03, 2023 9:49 pm
» [Revive the Forum]
by Kuro Usagi Fri Sep 04, 2015 12:37 am
» Um.. hi, I guess?
by Kuro Usagi Fri Sep 04, 2015 12:35 am
» Do You Have Sixth Sense?
by Kurome Fri Jun 26, 2015 3:45 pm
» Website favorit kalian untuk baca komik online?
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 7:57 pm
» Biarkan Mata, Otak, Keyboard mengaum saat engkau mengetes mereka. xD~
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 7:56 pm
» Imaginary World
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 4:59 pm
» Komentar member di atas^
by Phantomhive_Earl Mon Oct 28, 2013 4:37 pm
» If you wish at fallen star, it will come true. Is that true?
by Phantomhive_Earl Sun Oct 27, 2013 3:56 pm
» Pengalaman Seram
by Phantomhive_Earl Sun Oct 27, 2013 12:48 pm
[ONE SHOT] Blood Tunes
Page 1 of 1
[ONE SHOT] Blood Tunes
Judul : Blood Tunes!
Genre : mystery, action
Rating : 13+
Disclaimer : Persona RP from AARP forum
Author : Momoyuki Kimihara
Summary: One story about Tsukioka Town, town who said not have been peaceful since past years. However, the town seems full of shadows within some dark dungeons, that have been sealed off two months before this story began. But, some serial murder starts not long after the Basement of the Darkness sealed shut.
There have been 12 victims, with worse-condition looking corpses, all female, and the corpse disappeared after first seen.
Is this going to continue forever…?
*diinjek karena sok Inggris*
Tinggalkan saja bila tidak suka.
Main Appearence: Reis Yamatono, Rovan Arphane, Raiko Shirogane and Shisio Fujisaki.
Supernumary:Yurrei Futabaki, Dachi Saiyuki, Himeko Ichijo, Hitomi Fuyukori, Camisee vi Lunaviolette, Hoshizora Ame, Michiru Saeki, Kagura Nishitani, Aragi Yamato, Rikku Shaolee, Kouya Akeyama, Maki Kuzunoha, Soshi Okita, Eari Kashima, Hana Shiranui, Al Hasegawa, Mikuru Arsenbach.
Chapter I : Honest Crime
Hari ini begitu cerah di sisi kota Tsukioka, sekarang adalah pertengahan musim dingin. Tetapi cuaca tak sedingin biasanya. Sinar matahari hangat terpancar begitu cerah membuat kota seakan hidup.
Hari ini juga, Reis Yamatono dan Karin Kasuragi akan pergi menonton sebuah film. Mereka sudah cukup lama pacaran, mereka bersekolah di satu sekolah yang sama, yaitu Shikoei High. Akhir-akhir ini, banyak pembunuhan terjadi di kota tersebut, yang anehnya, semua mayat yang ada menghilang begitu saja.
Sekolah Tsukioka adalah satu-satunya sekolah yang ada disana. Banyak murid yang tinggal di asrama yang terpencar di sekitar kota. Kota Tsukioka sendiri adalah kota yang sangat besar, dan mempunyai banyak orang yang bergelar Persona-user.
Tetapi, dalam beberapa bulan terakhir, setelah Basement of The Darkness di tutup, Banyak dari mereka yang tidak lagi memakai Persona, mereka mempunyai unsur supranatural, setiap orang punya satu elemen kekuatan acak dan terbagi dalam beberapa kelas, seperti: Hollow (kekuatan telekinesis dan teleportasi), Truth (penglihat seluruh hal yang gaib), Shadow (penglihat masa depan), Vampire (penunjuk arah) atau Reaper (penghapus jiwa). Ada yang legendaris, bernama ‘Harmonia’ yang diartikan sebagai gabungan keseluruhan hal diatas, semua orang tahu karateristik masing-masing dan ada yang merahasiakan hal itu untuk kepentingannya.
Reis Yamatono, yang tinggal di asrama Kirioku, dan menjabat sebagai ketua asrama Protagonist, sudah siap berangkat pada jam 3 sore. Mereka janjian di kuil Oboyoshi.
Walaupun asrama mereka sama, akhir-akhir ini mereka membatasi cewek dan cowok berhubungan terlalu banyak di dalam asrama.
“Apa Karin akan datang…?” Reis mengecek arlojinya. “Atau sebaiknya ku telpon dulu?” gumamnya.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi, disaat ia memegangnya.
“Ah, halo…?” sapa Reis di telpon.
“Reis?” balas orang di telpon itu.
“Hmmm? Ini Rikku…, kan?” ucap Reis pada orang itu.
“Iya, ini Rikku…” ucapnya datar. “Karin tidak bisa datang, dia sakit. Maaf ya, Reis…”
“Emm, tidak masalah kok…, mau kujenguk…?”
Ada sebuah jeritan keras ‘tidak usah’ dari sisi lain suara Rikku.
“Kau dengar barusan, Reis? Argh, telingaku mau pecah…”
“Aku akan jalan-jalan di kota aja hari ini deh…” jelas Reis. “Selamat berjuang merawatnya yah, Rikku.”
“Yah, makasih…”
Reis mengantongi HP-nya. Ia mengencangkan tali sepatunya dan keluar dari kamar. Ia menuju pusat kota.
Ia mendatangi Kuil Oboyoshi, alasannya menuju tempat itu karena tempat itu sangat tenang, walaupun agak tidak terawat dan jarang dikunjungi orang.
Kali ini, ia melihat seseorang, berdiri di depan pohon sakura yang mekar sepanjang tahun, salah satu keunikan kuil ini.
“…dia ‘kan…” gumam Reis pelan. “Anak pendiam itu…, Raiko Shirogane…”
Raiko menoleh ke arah Reis. Ia tersenyum simpul.
“Buat apa kau datang kesini,Yamatono-san?” kata Raiko perlahan pada Reis yang sedang melihat ke arah lain.
“Untuk bersantai…, yah, setidaknya begitu…”
“…Ooh…” katanya. Ekspresinya tidak terlalu berubah banyak. “…Kau suka melihat mayat, Yamatono-san?” tanyanya.
“Mayat…?” kata Reis pelan. “Untuk apa melihat mayat…?”
“Pembunuhan di sekitar sini, mereka bilang mayatnya hilang…”
“….lalu…?”
“………padahal mereka cuma tidak bisa melihat mayat itu lagi untuk kedua kalinya …” jelas Raiko.
Setelah menghentikan pembicaraan itu, yang dianggapnya tidak rasional, Reis pun kembali ke asrama. Saat menuju kamarnya , ada seorang bertopi hitam dan berpakaian serba hitam menunggunya di depan pintu.
“Sore, Yamatono.” ucap orang itu, sambil menurunkan topinya.
“Ada apa, Rovan?” kata Reis kaku. “…ada masalah apa dan kenapa kau ada disini?”
“Bukan apa-apa. Cuma soal pembunuhan ‘itu’, aku menyelidikinya karena terlihat menarik…” kata Rovan. “Kau juga tertarik kan, Yamatono?”
“…Itu bukan uusanku.” ungkap Reis pendek. “Kenapa kau datang padaku?”
“Kupikir kita bisa sedikit bertukar info…” kata Rovan, ia mengulurkan tangannya pada Reis. “Ini soal murid sekolah kita lagi, korban ke-13…, tepatnya di kelasmu…”
Tampaknya Reis agak sedikit bohong soal ia ‘tidak tertarik’.
“…Hah…?!”
“Benar…, kau mau tahu soal itu? Aku hanya punya sedikit info, tetapi kalau kau mau dengar, akan kujelaskan…, dengan sedikit bayaran, tentunya.” jelas Rovan, senyum menghiasi wajahnya.
“…Kau mau apa dariku?”
“Buku absen kelasmu. Kau memegang itu, kan?” ucap Rovan. “Aku cuma mau lihat sedikit…”
“…………Baiklah.”
Reis mengambil buku absen yang ia pegang dari wali kelasnya dan menyerahkannya pada Rovan. Rovan hanya membalik setiap halaman dalam hitungan detik dan mengembalikannya.
“…Mana janjimu?” kata Reis setelah mendapat kembali buku absen.
“Ah, soal itu…” Rovan pun membeberkan sesuatu pada Reis. “Korban ditemukan 2 hari lalu dalam keadaan mengenaskan di toilet sekolah, emm, tangan hilang, bola mata terbalik, dan darah dimana-mana, oleh seorang murid. Begitu si murid memanggil bantuan, mayat itu sudah hilang. Yang tersisa hanya tulisan darah di kaca…’Kelas B ’…, itu kelasmu, kan…?”
“…memang itu kelasku…”
“ Senjata pembunuhnya adalah… paku raksasa. Itu ditemukan di tempat sampah belakang sekolah…” jelasnya. “Korban masih belum jelas namanya…, maaf yah…”
“O-oh…” Reis membuang rasa ingintahunya. “Siapa yang menemukan mayatnya…?”
“…Murid kelas D, Eari Kashima. Tapi ia tak punya alasan untuk membunuh, serta ia puya alibi.”
“…”
“Kau mau tahu korban berikutnya kan…?” rajuk Rovan.
“Bu, bukan masalah itu!!” kata Reis, menolak. “…Apa ini soal monster-monster yang muncul dari pintu bawah tanah itu pelakunya?”
“Bukan mereka, pintu itu telah disegel untuk kepentingan umum.” kata Rovan. “Mungkin kita harus ikuti permainan mereka, Yamatono…”
“Itu permainan yang sudah melebihi batas dan terlalu mencurigakan, Arphane…” kata seseorang di belakang mereka berdua.
“Aragi?! Sejak kapan kau disana?” ujar Reis.
Orang itu adalah Aragi Yamato, teman dekat (?) Reis. Ia hobi menulis cerita horor bersama asistennya, wakil ketua OSIS yang berasal dari kelas D, Hitomi Fuyukori.
“Kelihatannya pembicaraan kalian menarik, boleh aku ikut? Kapan-kapan jika ada hal baru tentang ‘itu’?” kata Aragi santai.
“Terserah, Aragi…” ucap Rovan. “Aku… ingin menghentikan ‘permainan’ membuang nyawa ini…”
*****
Esok hari adalah hari sekolah, semester kedua. Reis datang lebih awal untuk memeriksa murid yang hadir, ia ingin menemukan ‘sang korban’.
“Tumben kau datang pagi, Reis!” sapa teman sebangku Reis, Shisio Fujisaki.
“Yah, sedikit lihat-lihat…”
“Hari ini ada pemeriksaan oleh ketua OSIS, kau ingat kan?”
“Iya…, aku tidak sepelupa kau…”
Pintu dorong kelas mengayun terbuka, ada ketua OSIS—kelihatan dari armband yang ia pakai—memasuki kelas.
“Mana Reis…?” ucapnya tegas.
“Pagi, ketua……..”
“Namaku Yurrei, jangan panggil aku ‘ketua’!” katanya. “Sore ini ada pertemuan singkat seluruh ketua kelas, usahakan datang…”
“…Iya,iya…”
Ketua OSIS barusan adalah Yurrei Futabaki dari kelas A. Yang berdiri dekat pintu adalah bendahara OSIS, Michiru Saeki dari kelas C dan sekretaris OSIS, Hoshizora Ame dari kelas D. Aragi dan Rovan berada di kelas A, Karin ada di kelas C, Rikku ada di D.
Hari ini, semua murid B masuk. Reis berpikir, korbannya BUKAN dari kelas ini. Dan hari ini berlalu seperti biasanya.
Jam makan siang, atap sekolah.
Reis membawa bekal buatan Aragi, yang tersusun sangat rapi dengan irisan telur, nasi, rumput laut, sosis dan kentang. Atap sekolah sepi, tempat yang cocok untuk makan. Kali ini, ia bertemu dengan Raiko lagi, sedang meratapi langit.
“Kau lagi…?” ungkap Reis bosan. “Kau tidak bawa bekal?”
Raiko menggeleng, ia masih membuang muka ke arah langit. Menatap awan tanpa batas berarak.
“…Kau tahu soal kekuatan supranatural di kota, kan?” Raiko memulai pembicaraan.
“…Ya…?”
“Setiap orang punya satu kekuatan…, yang paling diincar adalah…’Harmonia’…”
“ Harmonia…? Bukannya itu legendaris…?”
“…Memang…”
Anehnya, setelah obrolan singkat itu, Raiko langsung berlari pergi dari atap, menjauhi Reis. Dari pintu masuk muncul Karin, bersama temannya, Hime dan Dachi—servant milik Hime.
“Halo, Reis~” sapa Dachi riang.
“Kita makan siang disini saja…” kata Hime.
“Siapa barusan, Reis…?” tanya Karin, yang agak kaget.
“Entahlah…”
Mereka berempat makan siang bersama di atap itu.
“Hoooi~” suara Rikku terdengar dari kejauhan. Saat Reis menoleh ke arah pintu, ia juga melihat Rikku membawa Ame dan…murid dari kelas E, Camisee vi Lunaviolette.
“Jadi ramai nih, tidak apa-apa, Reis?” kata Karin.
“Yah, tidak masalah…” Reis sedang asik mengunyah makanannya.
“Siang, Rikku-chan.” sapa Hime sopan. “Hari ini cerah dan ramai~~”
“…kau kelihatan senang, Nona…” komentar Dachi.
“Kalian tertarik soal pembunuhan?” Camisee memotong pembicaraan.
“Soal itu lagi yah?” kata Karin.
“…Itu kan buah bibir di kota…” kata Ame, ia menuang teh dari tempat minumnya ke sebuah gelas plastik.
“…Kasus itu, sang pembunuh masih belum diketahui, dan…, total sementara ada 13 korban…” kata Rikku.
“…Mereka semua ditemukan mengenaskan, dan semuanya adalah perempuan…” simpul Camisee.
“Walaupun kita berpikir disini, tidak ada petunjuk yang menuju ke sang pelaku…” ungkap Karin. “Jadi, bisa dibilang tidak berguna kalau kita bicarakan sekarang…”
“Benar, Karin.” kata Reis. “Pembunuhnya terlalu pintar…, tak ada sidik jari, jejak, ataupun pesan kematian yang ada…” jelas Reis lagi.
“Senjata pembunuhan dan lokasi pun berbeda, dan tidak ada yang khusus dari tiap korban incarannya.” tambah Ame. “Kita juga tidak bisa menebak satu dari sekian juta orang penduduk kota ini.”
“Anehnya, sekali dilihat, mayat itu langsung hilang…” ungkap Rikku, seraya membetulkan letak kacamatanya. “Semua kejanggalan tidak bisa disatukan menjadi bukti.”
“…Sudahlah…, jangan berpikir terlalu keras kali ini. Nikmati saja hari ini…” Hime berusaha mengganti topik. “Kita bisa pikirkan lagi jika ada sebuah kejanggalan baru, mungkin?”
“………”
Bel masuk berbunyi, mereka kembali ke kelas mereka masing-masing.
Sepulang sekolah, Karin datang ke meja Reis dan Shisio. Seperti biasa, ia mengajak Reis pulang bareng, walaupun arah asrama mereka beda.
“Karin, kita kan teman lama… kenapa kita gak pulang bareng lagi?” ucap Shisio.
“Itu kan dulu!!!” bantah Karin.
“Ehh, hari ini aku ada rapat OSIS, rin…” kata Reis, dengan ekspresi memelas dan sangat kecewa.
“Jadi, pulangnya sama aku ya, rin?!” sela Shisio.
“…TIDAK USAH!” Karin memukul Shisio dengan tasnya. “Ehm—sampai besok, Reis~!” Karin meninggalkan kelas B.
“Cih…, lagi-lagi aku dapat yang sial…” gumam Shisio, yang tengah meninggalkan kelas.
“Fuh…dasar” Reis melepas tertawanya sesaat Shisio pergi. Ia menuju ruang OSIS setelah itu.
Pertemuan berlangsung dengan tentram. Yurrei membahas soal pembunuhan dan menyarankan untuk lebih berhati-hati sebelum membubarkan pertemuan itu. Saat Reis meninggalkan ruangan, ia bertemu Hitomi yang sedang melihat buku absen kelas 2-D.
“…Sedang apa, Hitomi…?”
“……..Hah?! …ah, umm, ha, halo Reis…” Hitomi terbata-bata.
“Maaf aku membuatmu kaget…” kata Reis. “Sedang apa?”
“Memeriksa daftar absen…, sudah 1 korban dari kelasku…” ucapnya pelan.
Terdengar suara sirene dari kejauhan…
“Sirene…?” ucap Hitomi. “Suara itu…sirene polisi, kan…?”
“……Jangan-jangan…korban berikutnya…!” Reis langsung berlari keluar.
“Ah, Reis!... ………Tunggu!!!”
Reis mencoba mengikuti suara sirene, ia menuju ke arah kuil Oboyoshi.
“…Reis…?!” ujar sebuah suara.
“Kau…, Seiji Hakkusho, temannya Dachi…” kata Reis. “Ada apa disini…?”
“Yah…’itu’ lagi…!” ungkap Seiji kesal. “Korban ke 14…”
Hitomi menyusul Reis, dia tampak kelelahan. Seiji dan Reis berdiri di arah depan gerbang kuil, banyak orang mengerumuni kuil itu.
“…Reis, larinya jangan cepet-cepet dong…”
“Maaf, Seiji. Kalo boleh tau, siapa korbannya?” tanya Reis.
“…………………” Seiji terdiam.
“…Siapa Seiji?! Jawab aku!!”
“…tanyalah Dachi, dia yang menemukan mayatnya…”
“Mundur, mundur!!” ucap seseorang dikerumunan. “lagi-lagi mayatnya hilang…
“…Orang itu…, Maki, kan…?”
Maki Kuzunoha adalah salah satu teman sekolah Reis, ia dari kelas D, sama seperti Hitomi. Ia bekerja magang di kepolisian setempat bersama beberapa anak lain untuk meneliti pembunuhan yang baru-baru ini terjadi.
“Ah, halo, Reis!” ucapnya tegas.
“Ngapain kau disini?”
“Aku kan magang di kepolisian…” kata Maki. “Mayatnya, hilang lagi…”
Tiba-tiba ada yang melompat dari kerumunan.
“…REIS!!” teriaknya.
“…Shisio…?”
Shisio langsung menarik kerah baju Reis.
“INI SEMUA…GARA-GARA KAMU!!!” bentak Shisio.
“Kenapa…? Ada apa…?”
“KALAU SAJA…KAU MENEMANINYA……KARIN…”
“…?!”
“KARIN…TAKKAN TERBUNUH, REIS…!”
Shisio menjatuhkan Reis ke tanah, Reis terdiam terbujur kaku. Shisio berusaha menahan amarahnya. Dachi langsung datang menghampiri Reis.
“…Ini…HP-nya yang tertinggal…” Dachi mengulurkan HP milik Karin ke tangan Reis. Tampaknya ia berusaha mengontak Reis pada jam kejadian…
“………….” Reis hanya diam saja, menatap HP tersebut, yang telah kehilangan pemiliknya.
“…Reis…?” kata Hitomi pelan. “Kalau kau diam saja, nanti Karin sedih…”
“Sudahlah, Hitomi…” ucap Reis. “Tidak ada gunanya menghiburku…”
Ternyata, korban ke-14 adalah Karin Kasuragi, orang terpenting bagi Reis. Masalah semakin bertambah dengan bertambahnya jumlah korban. Sang pelaku makin susah terlacak oleh polisi dan aparat lain.
Reis terdiam ketika kembali ke asrama, suasana asrama menjadi berat. Kouya mencoba bicara padanya, tetapi ia tidak merespon. Ia masih sangat terpukul.
“Reis…” kata Kouya pelan. “Sudahlah…”
“…Yah…”
“Aku terkejut…” ucap Rovan. “Pembunuhan terjadi pada jam 4:20 sore, sesaat sesudah acara rapat OSIS. Tapi dikira-kira, sang pembunuh sudah tidak ada disana 5 menit setelah waktu pembunuhan…”
“Berarti dia seorang pemilik kekuatan ‘hollow’.” lanjut Aragi. “Bisa dibilang seperti itu…”
“Sial…, PEMBUNUH ITU…!!” ucap Shisio geram. “Kenapa dia, mengincar Karin…?!”
Suasana kembali sunyi…
“Yamatono.” ucap Rovan. “Berikan HP milik Karin padaku.”
“Buat…?”
“Ada yang masih membuatku, penasaran…”
Reis melempar HP Karin ke tangan Rovan.
“…Pembunuhnya sangat baik…, ia meninggalkan identitas korban tanpa bercak darah dan satu sidik jari pun…” kata Aragi. “Benar kan, Arphane?”
“Tepat…” kata Rovan. “Permainan ini terlalu sulit…”
“Dachi sore itu tidak bareng Hime…” kata Seiji, memotong pembicaraan.
“…Kemana Hime?” tanya Reis.
“Hime kan anggota OSIS…” ucap Shisio. “Dan dia punya kekuatan itu, ‘hollow’”
“Maksudmu…, pelakunya Hime, Seiji?!” kata Kouya.
“Kita tidak punya bukti!” kata Aragi. “Walaupun dia cocok ke dalam sifat pelaku…”
“Kita harus tanya dia, besok…” ucap Reis.
Hari pertama sekolah berlalu, dengan kengerian akan kematian. Semua orang bisa saja menjadi pelaku, tetapi tak ada yang pantas disalahkan atas semua hal yang telah terjadi…
---------------------------------------------------------------------------------------
Chapter 2: Silent Dream
Esok harinya, hari Selasa. Ada sebuah surat di meja resepsionis asrama, pagi itu. Surat itu terlipat rapi, terbungkus dengan sebuah amplop berwarna coklat. Yang pertama kali melihat surat itu adalah Aragi dan Kouya Akeyama (salah satu penghuni asrama) yang kebetulan bangun lebih awal dari biasanya. Aragi membuka amplop surat dan membacanya dengan keras.
Yang terhormat,
Aku tahu, kalian mengikuti alur permainan ini. Bagaimana kalau kalian ikut dalam permainan ini, daripada kalian hanya mengikutinya saja?
Caranya mudah, kalian cukup menghentikan langkahku mengambil nyawa-nyawa teman kalian untuk kepentinganku. Kalian tertarik…?Aku akan mengambil korban berikutnya tidak jauh dari hari ini. Bisakah kalian mengakhiri permainan yang kumulai…? Rasanya agak bosan bila tidak ada musuh dalam sebuah permainan.
Kutunggu kalian, hingga kalian menemukanku…Aku akan terus mengirimkan sebuah surat saat korban baru akan muncul.
“Dia menantang kita…?” kata Kouya pada Aragi.
“Begitulah~” ucap Aragi datar. “Kita harus secepatnya mencari dia, sebelum ada korban ke 15…”
Paginya, ketika hendak bel masuk. Kelas Karin, yaitu kelas C. Dachi menyapa Reis dkk dengan hangat, tampaknya ia tidak traumatis soal kejadian itu, mengingat ia juga duduk sebangku dengan Karin, dan melihat mayatnya.
“Ada perlu apa denganku?” kata Hime di sisi mejanya, melihat Shisio, Rovan dan Reis datang.
“Kami mau tanya soal KEMARIN…” jelas Shisio. “Kemarin, kau ada dimana saat waktu kematian Karin?”
“Nona ikut pertemuan OSIS…” ucap Dachi. “Ia kembali denganku saat aku menjemputnya di sekolah pukul 4: 35 sore…”
“Kau sedang dimana jam 4:20?” tanya Rovan.
“Nona sedang di kelasnya, ngobrol dengan Yurrei…” jawab Dachi.
“…Kau menduga aku membunuh Karin karena aku punya kekuatan ‘hollow’, kan?” kata Hime. “Pemikiran kalian sama…seperti Rikku-chan.”
“Rikku…?” kata Reis heran.
“Iya, dia baru saja menanyaiku bersama Camisee, Ame dan Michiru…”
“…Sebanyak itu?” Rovan ikut heran.
“Ya. Aku juga bingung menjawab mereka.” ungkap Dachi.
“Aku akan menanyai Rikku…, saat jam makan siang.” pikir Reis.
Saat kembali ke B, ada pengaturan tempat duduk ulang. Shisio duduk paling depan bersama seorang teman Rovan bernama Soshi Okita. Sementara Reis duduk di pojok belakang, sebangku dengan Raiko.
“Kau pasti bosan, bertemu denganku lagi, Yamatono-san…” kata Raiko.
“…Aku sudah terbiasa…” ucap Reis tenang. “ Lagi aku juga senang menjauh dari Shisio yang lumayan ribut…”
“Aku simpati soal pacarmu, Kasuragi…” lanjut Raiko. “Dia diincar, sama seperti yang lainnya, ke-13 korban lain…”
“…………”
“…Mereka dari kelas yang berbeda…”
“…hah…?” Reis terbawa cerita Raiko.
“Awalnya, korban pertama dari luar sekolah…, sampai hari ini, korban ke-14 adalah murid C…”
Reis mengingat kata-kata Hitomi… “sudah satu orang di kelasku jadi korban.” Apa Raiko juga mengikuti permainan ini? pikir Reis dalam hati.
“Aku mengerti, terima kasih.” kata Reis senang.
“Sama-sama…” jawabnya dalam senyuman.
Satu petunjuk kecil dari Raiko membuat Reis kembali berpikir soal ‘permainan’.
Ia akan menemui Rikku untuk meminta info dan sedikit bala bantuan saat jam makan siang di atap sekolah. Kali ini, Aragi tidak ikut lagi. Aragi berjanji pada penerbit untuk menyelesaikan novel misteri karya Aragi—yang terkenal dengan pen-name ‘Asher’. Jam makan siang semakin dekat, Shisio mendatangi meja Reis.
“Maaf soal kemarin yah, Reis…” ucap Shisio pelan.
“Tidak masalah kok. Kau hanya terbawa emosi, kan?” kata Reis santai.
“Baiklah, kita harus cari pembunuhnya, demi Karin!!”
“…Setuju.”
Atap sekolah, tepat pada jam makan siang. Rikku, Camisee, Michi dan Ame sedang menunggu Reis sambil sedikit mengobrol.
“Hai, Reis…” sapa Michi.
“Kenapa soal kami?” tanya Ame.
“Kalian mau minta info, yah?” tebak Camisee.
“…Memang sih…” kata Shisio.
“Kalian jadi peserta permainan juga yah?” tanya Rikku pada Rovan.
“Memang.” Rovan mengangguk pasti. “Kita mau cari info baru…, kalian pasti punya sedikit.”
“Kalian meminta info pada kami? Bukannya kita berdua terhenti pada hal yang sama?” ucap Rikku.
“Tapi kau berhasil temukan senjata pembunuhnya kan?” tanya Reis.
“Si, siapa yang bilang hal itu?!”
“Maki…” lanjut Shisio. “Jadi…, bagaimana pendapatmu, Rikku Shaolee?”
“Senjata pembunuhan masih sama, paku raksasa…” jelas Rikku. “Aku menemukannya didalam kotak persembahan di kuil, darah yang menempel masih hangat…”
“Dan, tanpa sidik jari berarti…” ujar Camisee.
“Cuma itu saja yang kita punya.” kata Michi.
“Itu sudah cukup, kok.” kata Rovan. “Belum cukup infonya untuk menjebak si pembunuh…”
“Oh, iya!” ujar Reis. “Tadi ada yang bilang padaku bahwa korban berasal dari semua kelas secara berputar, karena di kelasku juga sudah ada korban…”
“HAH?!” seru semua orang.
“Bisa dibilang motif korban adalah berurutan dari kelas A ke E…” Reis melanjutkan hipotesisnya.
“Jadi korban berikutnya…ada di kelasku, D?” ucap Ame.
“Mungkin saja, soalnya Karin kelas C.” kata Shishio.
“Mungkin berikutnya kau, Ame…” ucap Rikku. “Karena kau lumayan dekat dengan korban sebelumnya, Karin…”
“Apa hubungannya Karin dengan korban ke-13?” tanya Reis.
“Eari bilang, si korban ke-13 itu main sama Karin dulu…” jelas Camisee. “Dia masih belum berani menyebut nama orangnya…”
“Mana Eari?” tanya Shisio.
“Dia masih di rawat di rumah sakit karena dia agak…ketakutan soal penemuan mayat itu.” jawab Michi. “Eari juga tidak mau bicara banyak pada kami…”
“Korban berikutnya Ame?” ujar Rovan.
“Sepertinya begitu…” pikir Rikku. “Lindungi saja dia…”
“Baiklah, Rikku.” Shisio langsung setuju.
“………Aku berikutnya, yah…?” gumam Ame.
*****
Michi dan Camisee memutuskan untuk pulang bareng Ame selama beberapa hari ke depan, dan Rikku duduk tepat di sebelahnya, untuk mencegah ia menjadi korban ke-15 ‘permainan’ ini. Sepertinya Ame kurang menyukai perlakuan tersebut, tapi ia harus melakukannya.
Pada hari Kamis, Reis, Rovan dan Shisio masih mencari info lain dari beberapa tempat di kota. Mereka tidak akan menyerah demi Karin. Mereka menuju kuil Oboyoshi, tempat terakhir Karin sore itu.
“Disini sudah tidak ada apa-apa. Mungkin Shara kemarin sudah membersihkan TKP…” kata Reis.
“………”
“Kalian semua sedang mencari sesuatu…?” seru seseorang di luar kuil.
“…hm?” Rovan menengok ke arah luar. Mereka melihat 2 orang cowok, yang tampaknya adik kelas mereka.
“Kalian temannya Hitomi, kan?” tanya yang paling kiri.
“Kau adik Hitomi?” tanya Shisio.
“Iya, aku Hirashi. Ini adik Yurrei, Kouyou. Kami tinggal di asrama lain.”
“Kalian semua nyari apa sih? Mau kita bantu?” tanya Kouyou.
“Tidak usah, kalian pulang saja sana!” usir Reis.
“…Aku lagi nganggur nih~. Ayolah~” pinta Hirashi.
“…Ya sudah. Boleh kutanya, kalian tahu tentang pembunuhan baru-baru ini?” tanya Rovan mendadak.
“…Aku kurang tertarik soal itu.” jawab Kouyou singkat.
“Aku sih, kurang tahu…” jawab Hirashi.
“……nihil.” komentar Shisio.
“…Yang kutahu cuma, si pembunuh benar-benar memilih mangsanya.” Ucap Kouyou. “Mungkin yang kurang teliti akan mereka incar?”
“Kurang…teliti? Maksudmu?” tanya Reis lagi.
“Yah, kurang teliti…! Susah ngejelasinnya sampai dalam lagi!”
Setelah mengucapkan salam, Kouyou dan Hirashi pergi dari kuil itu. Tinggal Reis, Rovan dan Shisio disana.
“Ada yang masih mengangguku…” Rovan berpikir. “Kurang teliti yang disebut tadi maksudnya apa…?”
“Kita sudah menjaga Hoshizora.” ucap Shisio. “Apa yang kurang disini…?”
Mereka bertiga mencoba mengingat kejadian sebelumnya…
“Apa kita sudah menang dari dia?” gumam Rovan.
“Kupikir sih, belum…” tanggap Reis. “Apa sih…yang belum kita lakukan untuk mencegah pelaku…?”
Tiba-tiba saja, 4 menit setelah itu, Rovan berlari keluar kuil.
“HEI ROVAN!! KENAPA?!” teriak Shisio.
“Ada yang belum kita lakukan…itu dia…”
“Apa…?” tanya Reis.
“Kalian tidak ingat ya?! Orang yang berasal dari kelas D selain Hoshizora…!! Kita tinggalkan dia tanpa penjagaan!!!” jelas Rovan. “Dia pasti…sudah akan dibunuh sekarang!!”
“…!!!”
“Maksudmu…Rikku?!” tanya Shisio
“Sudahlah…ayo cepat cari dia…sebelum terbunuh…”
Mereka bertiga pun berlari keluar kuil…
Sementara itu, di saat yang sama, di sekitar Sanzobaraku Hill. Banyak dedaunan tertiup angin musim dingin.
Saat itu, Rikku sedang berjalan-jalan menikmati angin sore. Ia akan menuju ke rumah sakit tempat Eari dirawat.
“…huff…” Ia menghela napas panjang. “Coba kalau Eari tidak apa-apa, kita udah jalan bareng lagi disini…”
Dari hadapan Rikku, datang seseorang, memakai tundung hitam dan membawa sebuah paku raksasa tepat di depannya.
“…?!” Rikku berusaha mundur. “…Bukannya kau mengincar Ame?!”
“…………………” Orang bertundung itu kembali mendekati Rikku.
“…Jawab aku…, siapa kau sebenarnya…?” tanya Rikku, yang terus berusaha mundur dari jarak serang orang itu.
“Kau…korban ke-15…………” ucapnya. “Kau………seorang ‘harmonia’…”
“Harmonia? Jadi, kau mengincar pemilik Harmonia?!”
“…………hentikan ocehanmu…, Rikku Shaolee…”
“Kau tahu namaku kan, jadi…SIAPA KAU?!”
“…………………takdirmu adalah…, mati ditangan telekinesis milikku…”
“……….Persona…!!”
“…Percuma…” ucapnya sedingin es. “Kau…sudah mati…”
Sementara itu, ketiga orang masih mencari keberadaan Rikku. Mereka sudah berusaha secepat mungkin dengan kemampuan teleportasi milik Rovan.
“Bagaimana kalau…Sanzobaraku Hill? Rikku kan sering menjenguk Eari!” usul Shisio.
“Baiklah…” Rovan menteleport mereka ke Sanzobaraku Hill.
“Dimana dia?!” raung Reis. “Jangan sampai dia seperti Karin!!”
“Ah…, itu…” Shisio menunjuk sebuah pohon.
…Sayangnya, mereka sudah terlambat, mereka hanya bisa melihat Rikku dengan 15 buah paku raksasa yang tertancap di sekujur tubuhnya. Ia ditancapkan di sebuah pohon besar, yang mudah dilihat orang banyak.
“…Sial!!” ucap Shisio geram. “Kita terlambat lagi…!”
Dengan anehnya, mayat itu menghilang di hadapan mereka bertiga seperti kertas yang terbakar…
“Dia…hilang…” ucap Rovan. “Tanpa bekas…”
“Aku akan lapor ke Maki soal ini, Rovan, coba beritakan ke Camisee, Ame dan Michi…, Shisio, kau panggil Dachi…” perintah Reis.
Usaha mereka gagal, satu korban lagi muncul. Menambah daftar panjang kasus pembunuhan ini. Sudah 15 korban berjatuhan, dan tidak ada satu bekas pun tertinggal di dalam TKP…
“Ada apa memanggilku, Reis?” Dachi muncul dengan teleportasi milik Hime.
“Korban ke 14…, maksudku, Karin…” ucap Reis. “Apa dia juga…, ditancapkan 14 paku?”
“Iya…” jawab Dachi. “Dan mayatnya menghilang…”
“Maaf, kami tidak bisa melindungimu, Rikku…”
Kouya dan Seiji juga datang ke TKP, mereka dipanggil oleh Rovan.
“…Korban ke-15…” kata Seiji datar.
“Dia tidak dekat dengan Karin.” simpul Kouya.
“…Yah, Rikku kan TEMAN DEKAT Karin…” jelas Reis. “Aku baru ingat itu tadi…”
“Korban berikutnya bisa diperkirakan… Camisee.” ucap Shisio.
“…mungkin…?” desah Reis putus asa. “Aku…tidak yakin…”
“Tidak ada salahnya kalau kita coba…” ucap Kouya. “Kita mungkin bisa menerka si pelaku…”
“…Yah…” Rovan menghela napas panjang. “Ayo kita coba lagi…”
Korban ke-15 telah jatuh…, kali ini adalah Rikku Shaolee. Seseorang yang juga mengikuti alur melodi ‘permainan’ ini perlahan dari belakang…
------------------------------------------------------------------------------------
Genre : mystery, action
Rating : 13+
Disclaimer : Persona RP from AARP forum
Author : Momoyuki Kimihara
Summary: One story about Tsukioka Town, town who said not have been peaceful since past years. However, the town seems full of shadows within some dark dungeons, that have been sealed off two months before this story began. But, some serial murder starts not long after the Basement of the Darkness sealed shut.
There have been 12 victims, with worse-condition looking corpses, all female, and the corpse disappeared after first seen.
Is this going to continue forever…?
*diinjek karena sok Inggris*
Tinggalkan saja bila tidak suka.
Main Appearence: Reis Yamatono, Rovan Arphane, Raiko Shirogane and Shisio Fujisaki.
Supernumary:Yurrei Futabaki, Dachi Saiyuki, Himeko Ichijo, Hitomi Fuyukori, Camisee vi Lunaviolette, Hoshizora Ame, Michiru Saeki, Kagura Nishitani, Aragi Yamato, Rikku Shaolee, Kouya Akeyama, Maki Kuzunoha, Soshi Okita, Eari Kashima, Hana Shiranui, Al Hasegawa, Mikuru Arsenbach.
Chapter I : Honest Crime
Hari ini begitu cerah di sisi kota Tsukioka, sekarang adalah pertengahan musim dingin. Tetapi cuaca tak sedingin biasanya. Sinar matahari hangat terpancar begitu cerah membuat kota seakan hidup.
Hari ini juga, Reis Yamatono dan Karin Kasuragi akan pergi menonton sebuah film. Mereka sudah cukup lama pacaran, mereka bersekolah di satu sekolah yang sama, yaitu Shikoei High. Akhir-akhir ini, banyak pembunuhan terjadi di kota tersebut, yang anehnya, semua mayat yang ada menghilang begitu saja.
Sekolah Tsukioka adalah satu-satunya sekolah yang ada disana. Banyak murid yang tinggal di asrama yang terpencar di sekitar kota. Kota Tsukioka sendiri adalah kota yang sangat besar, dan mempunyai banyak orang yang bergelar Persona-user.
Tetapi, dalam beberapa bulan terakhir, setelah Basement of The Darkness di tutup, Banyak dari mereka yang tidak lagi memakai Persona, mereka mempunyai unsur supranatural, setiap orang punya satu elemen kekuatan acak dan terbagi dalam beberapa kelas, seperti: Hollow (kekuatan telekinesis dan teleportasi), Truth (penglihat seluruh hal yang gaib), Shadow (penglihat masa depan), Vampire (penunjuk arah) atau Reaper (penghapus jiwa). Ada yang legendaris, bernama ‘Harmonia’ yang diartikan sebagai gabungan keseluruhan hal diatas, semua orang tahu karateristik masing-masing dan ada yang merahasiakan hal itu untuk kepentingannya.
Reis Yamatono, yang tinggal di asrama Kirioku, dan menjabat sebagai ketua asrama Protagonist, sudah siap berangkat pada jam 3 sore. Mereka janjian di kuil Oboyoshi.
Walaupun asrama mereka sama, akhir-akhir ini mereka membatasi cewek dan cowok berhubungan terlalu banyak di dalam asrama.
“Apa Karin akan datang…?” Reis mengecek arlojinya. “Atau sebaiknya ku telpon dulu?” gumamnya.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi, disaat ia memegangnya.
“Ah, halo…?” sapa Reis di telpon.
“Reis?” balas orang di telpon itu.
“Hmmm? Ini Rikku…, kan?” ucap Reis pada orang itu.
“Iya, ini Rikku…” ucapnya datar. “Karin tidak bisa datang, dia sakit. Maaf ya, Reis…”
“Emm, tidak masalah kok…, mau kujenguk…?”
Ada sebuah jeritan keras ‘tidak usah’ dari sisi lain suara Rikku.
“Kau dengar barusan, Reis? Argh, telingaku mau pecah…”
“Aku akan jalan-jalan di kota aja hari ini deh…” jelas Reis. “Selamat berjuang merawatnya yah, Rikku.”
“Yah, makasih…”
Reis mengantongi HP-nya. Ia mengencangkan tali sepatunya dan keluar dari kamar. Ia menuju pusat kota.
Ia mendatangi Kuil Oboyoshi, alasannya menuju tempat itu karena tempat itu sangat tenang, walaupun agak tidak terawat dan jarang dikunjungi orang.
Kali ini, ia melihat seseorang, berdiri di depan pohon sakura yang mekar sepanjang tahun, salah satu keunikan kuil ini.
“…dia ‘kan…” gumam Reis pelan. “Anak pendiam itu…, Raiko Shirogane…”
Raiko menoleh ke arah Reis. Ia tersenyum simpul.
“Buat apa kau datang kesini,Yamatono-san?” kata Raiko perlahan pada Reis yang sedang melihat ke arah lain.
“Untuk bersantai…, yah, setidaknya begitu…”
“…Ooh…” katanya. Ekspresinya tidak terlalu berubah banyak. “…Kau suka melihat mayat, Yamatono-san?” tanyanya.
“Mayat…?” kata Reis pelan. “Untuk apa melihat mayat…?”
“Pembunuhan di sekitar sini, mereka bilang mayatnya hilang…”
“….lalu…?”
“………padahal mereka cuma tidak bisa melihat mayat itu lagi untuk kedua kalinya …” jelas Raiko.
Setelah menghentikan pembicaraan itu, yang dianggapnya tidak rasional, Reis pun kembali ke asrama. Saat menuju kamarnya , ada seorang bertopi hitam dan berpakaian serba hitam menunggunya di depan pintu.
“Sore, Yamatono.” ucap orang itu, sambil menurunkan topinya.
“Ada apa, Rovan?” kata Reis kaku. “…ada masalah apa dan kenapa kau ada disini?”
“Bukan apa-apa. Cuma soal pembunuhan ‘itu’, aku menyelidikinya karena terlihat menarik…” kata Rovan. “Kau juga tertarik kan, Yamatono?”
“…Itu bukan uusanku.” ungkap Reis pendek. “Kenapa kau datang padaku?”
“Kupikir kita bisa sedikit bertukar info…” kata Rovan, ia mengulurkan tangannya pada Reis. “Ini soal murid sekolah kita lagi, korban ke-13…, tepatnya di kelasmu…”
Tampaknya Reis agak sedikit bohong soal ia ‘tidak tertarik’.
“…Hah…?!”
“Benar…, kau mau tahu soal itu? Aku hanya punya sedikit info, tetapi kalau kau mau dengar, akan kujelaskan…, dengan sedikit bayaran, tentunya.” jelas Rovan, senyum menghiasi wajahnya.
“…Kau mau apa dariku?”
“Buku absen kelasmu. Kau memegang itu, kan?” ucap Rovan. “Aku cuma mau lihat sedikit…”
“…………Baiklah.”
Reis mengambil buku absen yang ia pegang dari wali kelasnya dan menyerahkannya pada Rovan. Rovan hanya membalik setiap halaman dalam hitungan detik dan mengembalikannya.
“…Mana janjimu?” kata Reis setelah mendapat kembali buku absen.
“Ah, soal itu…” Rovan pun membeberkan sesuatu pada Reis. “Korban ditemukan 2 hari lalu dalam keadaan mengenaskan di toilet sekolah, emm, tangan hilang, bola mata terbalik, dan darah dimana-mana, oleh seorang murid. Begitu si murid memanggil bantuan, mayat itu sudah hilang. Yang tersisa hanya tulisan darah di kaca…’Kelas B ’…, itu kelasmu, kan…?”
“…memang itu kelasku…”
“ Senjata pembunuhnya adalah… paku raksasa. Itu ditemukan di tempat sampah belakang sekolah…” jelasnya. “Korban masih belum jelas namanya…, maaf yah…”
“O-oh…” Reis membuang rasa ingintahunya. “Siapa yang menemukan mayatnya…?”
“…Murid kelas D, Eari Kashima. Tapi ia tak punya alasan untuk membunuh, serta ia puya alibi.”
“…”
“Kau mau tahu korban berikutnya kan…?” rajuk Rovan.
“Bu, bukan masalah itu!!” kata Reis, menolak. “…Apa ini soal monster-monster yang muncul dari pintu bawah tanah itu pelakunya?”
“Bukan mereka, pintu itu telah disegel untuk kepentingan umum.” kata Rovan. “Mungkin kita harus ikuti permainan mereka, Yamatono…”
“Itu permainan yang sudah melebihi batas dan terlalu mencurigakan, Arphane…” kata seseorang di belakang mereka berdua.
“Aragi?! Sejak kapan kau disana?” ujar Reis.
Orang itu adalah Aragi Yamato, teman dekat (?) Reis. Ia hobi menulis cerita horor bersama asistennya, wakil ketua OSIS yang berasal dari kelas D, Hitomi Fuyukori.
“Kelihatannya pembicaraan kalian menarik, boleh aku ikut? Kapan-kapan jika ada hal baru tentang ‘itu’?” kata Aragi santai.
“Terserah, Aragi…” ucap Rovan. “Aku… ingin menghentikan ‘permainan’ membuang nyawa ini…”
*****
Esok hari adalah hari sekolah, semester kedua. Reis datang lebih awal untuk memeriksa murid yang hadir, ia ingin menemukan ‘sang korban’.
“Tumben kau datang pagi, Reis!” sapa teman sebangku Reis, Shisio Fujisaki.
“Yah, sedikit lihat-lihat…”
“Hari ini ada pemeriksaan oleh ketua OSIS, kau ingat kan?”
“Iya…, aku tidak sepelupa kau…”
Pintu dorong kelas mengayun terbuka, ada ketua OSIS—kelihatan dari armband yang ia pakai—memasuki kelas.
“Mana Reis…?” ucapnya tegas.
“Pagi, ketua……..”
“Namaku Yurrei, jangan panggil aku ‘ketua’!” katanya. “Sore ini ada pertemuan singkat seluruh ketua kelas, usahakan datang…”
“…Iya,iya…”
Ketua OSIS barusan adalah Yurrei Futabaki dari kelas A. Yang berdiri dekat pintu adalah bendahara OSIS, Michiru Saeki dari kelas C dan sekretaris OSIS, Hoshizora Ame dari kelas D. Aragi dan Rovan berada di kelas A, Karin ada di kelas C, Rikku ada di D.
Hari ini, semua murid B masuk. Reis berpikir, korbannya BUKAN dari kelas ini. Dan hari ini berlalu seperti biasanya.
Jam makan siang, atap sekolah.
Reis membawa bekal buatan Aragi, yang tersusun sangat rapi dengan irisan telur, nasi, rumput laut, sosis dan kentang. Atap sekolah sepi, tempat yang cocok untuk makan. Kali ini, ia bertemu dengan Raiko lagi, sedang meratapi langit.
“Kau lagi…?” ungkap Reis bosan. “Kau tidak bawa bekal?”
Raiko menggeleng, ia masih membuang muka ke arah langit. Menatap awan tanpa batas berarak.
“…Kau tahu soal kekuatan supranatural di kota, kan?” Raiko memulai pembicaraan.
“…Ya…?”
“Setiap orang punya satu kekuatan…, yang paling diincar adalah…’Harmonia’…”
“ Harmonia…? Bukannya itu legendaris…?”
“…Memang…”
Anehnya, setelah obrolan singkat itu, Raiko langsung berlari pergi dari atap, menjauhi Reis. Dari pintu masuk muncul Karin, bersama temannya, Hime dan Dachi—servant milik Hime.
“Halo, Reis~” sapa Dachi riang.
“Kita makan siang disini saja…” kata Hime.
“Siapa barusan, Reis…?” tanya Karin, yang agak kaget.
“Entahlah…”
Mereka berempat makan siang bersama di atap itu.
“Hoooi~” suara Rikku terdengar dari kejauhan. Saat Reis menoleh ke arah pintu, ia juga melihat Rikku membawa Ame dan…murid dari kelas E, Camisee vi Lunaviolette.
“Jadi ramai nih, tidak apa-apa, Reis?” kata Karin.
“Yah, tidak masalah…” Reis sedang asik mengunyah makanannya.
“Siang, Rikku-chan.” sapa Hime sopan. “Hari ini cerah dan ramai~~”
“…kau kelihatan senang, Nona…” komentar Dachi.
“Kalian tertarik soal pembunuhan?” Camisee memotong pembicaraan.
“Soal itu lagi yah?” kata Karin.
“…Itu kan buah bibir di kota…” kata Ame, ia menuang teh dari tempat minumnya ke sebuah gelas plastik.
“…Kasus itu, sang pembunuh masih belum diketahui, dan…, total sementara ada 13 korban…” kata Rikku.
“…Mereka semua ditemukan mengenaskan, dan semuanya adalah perempuan…” simpul Camisee.
“Walaupun kita berpikir disini, tidak ada petunjuk yang menuju ke sang pelaku…” ungkap Karin. “Jadi, bisa dibilang tidak berguna kalau kita bicarakan sekarang…”
“Benar, Karin.” kata Reis. “Pembunuhnya terlalu pintar…, tak ada sidik jari, jejak, ataupun pesan kematian yang ada…” jelas Reis lagi.
“Senjata pembunuhan dan lokasi pun berbeda, dan tidak ada yang khusus dari tiap korban incarannya.” tambah Ame. “Kita juga tidak bisa menebak satu dari sekian juta orang penduduk kota ini.”
“Anehnya, sekali dilihat, mayat itu langsung hilang…” ungkap Rikku, seraya membetulkan letak kacamatanya. “Semua kejanggalan tidak bisa disatukan menjadi bukti.”
“…Sudahlah…, jangan berpikir terlalu keras kali ini. Nikmati saja hari ini…” Hime berusaha mengganti topik. “Kita bisa pikirkan lagi jika ada sebuah kejanggalan baru, mungkin?”
“………”
Bel masuk berbunyi, mereka kembali ke kelas mereka masing-masing.
Sepulang sekolah, Karin datang ke meja Reis dan Shisio. Seperti biasa, ia mengajak Reis pulang bareng, walaupun arah asrama mereka beda.
“Karin, kita kan teman lama… kenapa kita gak pulang bareng lagi?” ucap Shisio.
“Itu kan dulu!!!” bantah Karin.
“Ehh, hari ini aku ada rapat OSIS, rin…” kata Reis, dengan ekspresi memelas dan sangat kecewa.
“Jadi, pulangnya sama aku ya, rin?!” sela Shisio.
“…TIDAK USAH!” Karin memukul Shisio dengan tasnya. “Ehm—sampai besok, Reis~!” Karin meninggalkan kelas B.
“Cih…, lagi-lagi aku dapat yang sial…” gumam Shisio, yang tengah meninggalkan kelas.
“Fuh…dasar” Reis melepas tertawanya sesaat Shisio pergi. Ia menuju ruang OSIS setelah itu.
Pertemuan berlangsung dengan tentram. Yurrei membahas soal pembunuhan dan menyarankan untuk lebih berhati-hati sebelum membubarkan pertemuan itu. Saat Reis meninggalkan ruangan, ia bertemu Hitomi yang sedang melihat buku absen kelas 2-D.
“…Sedang apa, Hitomi…?”
“……..Hah?! …ah, umm, ha, halo Reis…” Hitomi terbata-bata.
“Maaf aku membuatmu kaget…” kata Reis. “Sedang apa?”
“Memeriksa daftar absen…, sudah 1 korban dari kelasku…” ucapnya pelan.
Terdengar suara sirene dari kejauhan…
“Sirene…?” ucap Hitomi. “Suara itu…sirene polisi, kan…?”
“……Jangan-jangan…korban berikutnya…!” Reis langsung berlari keluar.
“Ah, Reis!... ………Tunggu!!!”
Reis mencoba mengikuti suara sirene, ia menuju ke arah kuil Oboyoshi.
“…Reis…?!” ujar sebuah suara.
“Kau…, Seiji Hakkusho, temannya Dachi…” kata Reis. “Ada apa disini…?”
“Yah…’itu’ lagi…!” ungkap Seiji kesal. “Korban ke 14…”
Hitomi menyusul Reis, dia tampak kelelahan. Seiji dan Reis berdiri di arah depan gerbang kuil, banyak orang mengerumuni kuil itu.
“…Reis, larinya jangan cepet-cepet dong…”
“Maaf, Seiji. Kalo boleh tau, siapa korbannya?” tanya Reis.
“…………………” Seiji terdiam.
“…Siapa Seiji?! Jawab aku!!”
“…tanyalah Dachi, dia yang menemukan mayatnya…”
“Mundur, mundur!!” ucap seseorang dikerumunan. “lagi-lagi mayatnya hilang…
“…Orang itu…, Maki, kan…?”
Maki Kuzunoha adalah salah satu teman sekolah Reis, ia dari kelas D, sama seperti Hitomi. Ia bekerja magang di kepolisian setempat bersama beberapa anak lain untuk meneliti pembunuhan yang baru-baru ini terjadi.
“Ah, halo, Reis!” ucapnya tegas.
“Ngapain kau disini?”
“Aku kan magang di kepolisian…” kata Maki. “Mayatnya, hilang lagi…”
Tiba-tiba ada yang melompat dari kerumunan.
“…REIS!!” teriaknya.
“…Shisio…?”
Shisio langsung menarik kerah baju Reis.
“INI SEMUA…GARA-GARA KAMU!!!” bentak Shisio.
“Kenapa…? Ada apa…?”
“KALAU SAJA…KAU MENEMANINYA……KARIN…”
“…?!”
“KARIN…TAKKAN TERBUNUH, REIS…!”
Shisio menjatuhkan Reis ke tanah, Reis terdiam terbujur kaku. Shisio berusaha menahan amarahnya. Dachi langsung datang menghampiri Reis.
“…Ini…HP-nya yang tertinggal…” Dachi mengulurkan HP milik Karin ke tangan Reis. Tampaknya ia berusaha mengontak Reis pada jam kejadian…
“………….” Reis hanya diam saja, menatap HP tersebut, yang telah kehilangan pemiliknya.
“…Reis…?” kata Hitomi pelan. “Kalau kau diam saja, nanti Karin sedih…”
“Sudahlah, Hitomi…” ucap Reis. “Tidak ada gunanya menghiburku…”
Ternyata, korban ke-14 adalah Karin Kasuragi, orang terpenting bagi Reis. Masalah semakin bertambah dengan bertambahnya jumlah korban. Sang pelaku makin susah terlacak oleh polisi dan aparat lain.
Reis terdiam ketika kembali ke asrama, suasana asrama menjadi berat. Kouya mencoba bicara padanya, tetapi ia tidak merespon. Ia masih sangat terpukul.
“Reis…” kata Kouya pelan. “Sudahlah…”
“…Yah…”
“Aku terkejut…” ucap Rovan. “Pembunuhan terjadi pada jam 4:20 sore, sesaat sesudah acara rapat OSIS. Tapi dikira-kira, sang pembunuh sudah tidak ada disana 5 menit setelah waktu pembunuhan…”
“Berarti dia seorang pemilik kekuatan ‘hollow’.” lanjut Aragi. “Bisa dibilang seperti itu…”
“Sial…, PEMBUNUH ITU…!!” ucap Shisio geram. “Kenapa dia, mengincar Karin…?!”
Suasana kembali sunyi…
“Yamatono.” ucap Rovan. “Berikan HP milik Karin padaku.”
“Buat…?”
“Ada yang masih membuatku, penasaran…”
Reis melempar HP Karin ke tangan Rovan.
“…Pembunuhnya sangat baik…, ia meninggalkan identitas korban tanpa bercak darah dan satu sidik jari pun…” kata Aragi. “Benar kan, Arphane?”
“Tepat…” kata Rovan. “Permainan ini terlalu sulit…”
“Dachi sore itu tidak bareng Hime…” kata Seiji, memotong pembicaraan.
“…Kemana Hime?” tanya Reis.
“Hime kan anggota OSIS…” ucap Shisio. “Dan dia punya kekuatan itu, ‘hollow’”
“Maksudmu…, pelakunya Hime, Seiji?!” kata Kouya.
“Kita tidak punya bukti!” kata Aragi. “Walaupun dia cocok ke dalam sifat pelaku…”
“Kita harus tanya dia, besok…” ucap Reis.
Hari pertama sekolah berlalu, dengan kengerian akan kematian. Semua orang bisa saja menjadi pelaku, tetapi tak ada yang pantas disalahkan atas semua hal yang telah terjadi…
---------------------------------------------------------------------------------------
Chapter 2: Silent Dream
Esok harinya, hari Selasa. Ada sebuah surat di meja resepsionis asrama, pagi itu. Surat itu terlipat rapi, terbungkus dengan sebuah amplop berwarna coklat. Yang pertama kali melihat surat itu adalah Aragi dan Kouya Akeyama (salah satu penghuni asrama) yang kebetulan bangun lebih awal dari biasanya. Aragi membuka amplop surat dan membacanya dengan keras.
Yang terhormat,
Aku tahu, kalian mengikuti alur permainan ini. Bagaimana kalau kalian ikut dalam permainan ini, daripada kalian hanya mengikutinya saja?
Caranya mudah, kalian cukup menghentikan langkahku mengambil nyawa-nyawa teman kalian untuk kepentinganku. Kalian tertarik…?Aku akan mengambil korban berikutnya tidak jauh dari hari ini. Bisakah kalian mengakhiri permainan yang kumulai…? Rasanya agak bosan bila tidak ada musuh dalam sebuah permainan.
Kutunggu kalian, hingga kalian menemukanku…Aku akan terus mengirimkan sebuah surat saat korban baru akan muncul.
“Dia menantang kita…?” kata Kouya pada Aragi.
“Begitulah~” ucap Aragi datar. “Kita harus secepatnya mencari dia, sebelum ada korban ke 15…”
Paginya, ketika hendak bel masuk. Kelas Karin, yaitu kelas C. Dachi menyapa Reis dkk dengan hangat, tampaknya ia tidak traumatis soal kejadian itu, mengingat ia juga duduk sebangku dengan Karin, dan melihat mayatnya.
“Ada perlu apa denganku?” kata Hime di sisi mejanya, melihat Shisio, Rovan dan Reis datang.
“Kami mau tanya soal KEMARIN…” jelas Shisio. “Kemarin, kau ada dimana saat waktu kematian Karin?”
“Nona ikut pertemuan OSIS…” ucap Dachi. “Ia kembali denganku saat aku menjemputnya di sekolah pukul 4: 35 sore…”
“Kau sedang dimana jam 4:20?” tanya Rovan.
“Nona sedang di kelasnya, ngobrol dengan Yurrei…” jawab Dachi.
“…Kau menduga aku membunuh Karin karena aku punya kekuatan ‘hollow’, kan?” kata Hime. “Pemikiran kalian sama…seperti Rikku-chan.”
“Rikku…?” kata Reis heran.
“Iya, dia baru saja menanyaiku bersama Camisee, Ame dan Michiru…”
“…Sebanyak itu?” Rovan ikut heran.
“Ya. Aku juga bingung menjawab mereka.” ungkap Dachi.
“Aku akan menanyai Rikku…, saat jam makan siang.” pikir Reis.
Saat kembali ke B, ada pengaturan tempat duduk ulang. Shisio duduk paling depan bersama seorang teman Rovan bernama Soshi Okita. Sementara Reis duduk di pojok belakang, sebangku dengan Raiko.
“Kau pasti bosan, bertemu denganku lagi, Yamatono-san…” kata Raiko.
“…Aku sudah terbiasa…” ucap Reis tenang. “ Lagi aku juga senang menjauh dari Shisio yang lumayan ribut…”
“Aku simpati soal pacarmu, Kasuragi…” lanjut Raiko. “Dia diincar, sama seperti yang lainnya, ke-13 korban lain…”
“…………”
“…Mereka dari kelas yang berbeda…”
“…hah…?” Reis terbawa cerita Raiko.
“Awalnya, korban pertama dari luar sekolah…, sampai hari ini, korban ke-14 adalah murid C…”
Reis mengingat kata-kata Hitomi… “sudah satu orang di kelasku jadi korban.” Apa Raiko juga mengikuti permainan ini? pikir Reis dalam hati.
“Aku mengerti, terima kasih.” kata Reis senang.
“Sama-sama…” jawabnya dalam senyuman.
Satu petunjuk kecil dari Raiko membuat Reis kembali berpikir soal ‘permainan’.
Ia akan menemui Rikku untuk meminta info dan sedikit bala bantuan saat jam makan siang di atap sekolah. Kali ini, Aragi tidak ikut lagi. Aragi berjanji pada penerbit untuk menyelesaikan novel misteri karya Aragi—yang terkenal dengan pen-name ‘Asher’. Jam makan siang semakin dekat, Shisio mendatangi meja Reis.
“Maaf soal kemarin yah, Reis…” ucap Shisio pelan.
“Tidak masalah kok. Kau hanya terbawa emosi, kan?” kata Reis santai.
“Baiklah, kita harus cari pembunuhnya, demi Karin!!”
“…Setuju.”
Atap sekolah, tepat pada jam makan siang. Rikku, Camisee, Michi dan Ame sedang menunggu Reis sambil sedikit mengobrol.
“Hai, Reis…” sapa Michi.
“Kenapa soal kami?” tanya Ame.
“Kalian mau minta info, yah?” tebak Camisee.
“…Memang sih…” kata Shisio.
“Kalian jadi peserta permainan juga yah?” tanya Rikku pada Rovan.
“Memang.” Rovan mengangguk pasti. “Kita mau cari info baru…, kalian pasti punya sedikit.”
“Kalian meminta info pada kami? Bukannya kita berdua terhenti pada hal yang sama?” ucap Rikku.
“Tapi kau berhasil temukan senjata pembunuhnya kan?” tanya Reis.
“Si, siapa yang bilang hal itu?!”
“Maki…” lanjut Shisio. “Jadi…, bagaimana pendapatmu, Rikku Shaolee?”
“Senjata pembunuhan masih sama, paku raksasa…” jelas Rikku. “Aku menemukannya didalam kotak persembahan di kuil, darah yang menempel masih hangat…”
“Dan, tanpa sidik jari berarti…” ujar Camisee.
“Cuma itu saja yang kita punya.” kata Michi.
“Itu sudah cukup, kok.” kata Rovan. “Belum cukup infonya untuk menjebak si pembunuh…”
“Oh, iya!” ujar Reis. “Tadi ada yang bilang padaku bahwa korban berasal dari semua kelas secara berputar, karena di kelasku juga sudah ada korban…”
“HAH?!” seru semua orang.
“Bisa dibilang motif korban adalah berurutan dari kelas A ke E…” Reis melanjutkan hipotesisnya.
“Jadi korban berikutnya…ada di kelasku, D?” ucap Ame.
“Mungkin saja, soalnya Karin kelas C.” kata Shishio.
“Mungkin berikutnya kau, Ame…” ucap Rikku. “Karena kau lumayan dekat dengan korban sebelumnya, Karin…”
“Apa hubungannya Karin dengan korban ke-13?” tanya Reis.
“Eari bilang, si korban ke-13 itu main sama Karin dulu…” jelas Camisee. “Dia masih belum berani menyebut nama orangnya…”
“Mana Eari?” tanya Shisio.
“Dia masih di rawat di rumah sakit karena dia agak…ketakutan soal penemuan mayat itu.” jawab Michi. “Eari juga tidak mau bicara banyak pada kami…”
“Korban berikutnya Ame?” ujar Rovan.
“Sepertinya begitu…” pikir Rikku. “Lindungi saja dia…”
“Baiklah, Rikku.” Shisio langsung setuju.
“………Aku berikutnya, yah…?” gumam Ame.
*****
Michi dan Camisee memutuskan untuk pulang bareng Ame selama beberapa hari ke depan, dan Rikku duduk tepat di sebelahnya, untuk mencegah ia menjadi korban ke-15 ‘permainan’ ini. Sepertinya Ame kurang menyukai perlakuan tersebut, tapi ia harus melakukannya.
Pada hari Kamis, Reis, Rovan dan Shisio masih mencari info lain dari beberapa tempat di kota. Mereka tidak akan menyerah demi Karin. Mereka menuju kuil Oboyoshi, tempat terakhir Karin sore itu.
“Disini sudah tidak ada apa-apa. Mungkin Shara kemarin sudah membersihkan TKP…” kata Reis.
“………”
“Kalian semua sedang mencari sesuatu…?” seru seseorang di luar kuil.
“…hm?” Rovan menengok ke arah luar. Mereka melihat 2 orang cowok, yang tampaknya adik kelas mereka.
“Kalian temannya Hitomi, kan?” tanya yang paling kiri.
“Kau adik Hitomi?” tanya Shisio.
“Iya, aku Hirashi. Ini adik Yurrei, Kouyou. Kami tinggal di asrama lain.”
“Kalian semua nyari apa sih? Mau kita bantu?” tanya Kouyou.
“Tidak usah, kalian pulang saja sana!” usir Reis.
“…Aku lagi nganggur nih~. Ayolah~” pinta Hirashi.
“…Ya sudah. Boleh kutanya, kalian tahu tentang pembunuhan baru-baru ini?” tanya Rovan mendadak.
“…Aku kurang tertarik soal itu.” jawab Kouyou singkat.
“Aku sih, kurang tahu…” jawab Hirashi.
“……nihil.” komentar Shisio.
“…Yang kutahu cuma, si pembunuh benar-benar memilih mangsanya.” Ucap Kouyou. “Mungkin yang kurang teliti akan mereka incar?”
“Kurang…teliti? Maksudmu?” tanya Reis lagi.
“Yah, kurang teliti…! Susah ngejelasinnya sampai dalam lagi!”
Setelah mengucapkan salam, Kouyou dan Hirashi pergi dari kuil itu. Tinggal Reis, Rovan dan Shisio disana.
“Ada yang masih mengangguku…” Rovan berpikir. “Kurang teliti yang disebut tadi maksudnya apa…?”
“Kita sudah menjaga Hoshizora.” ucap Shisio. “Apa yang kurang disini…?”
Mereka bertiga mencoba mengingat kejadian sebelumnya…
“Apa kita sudah menang dari dia?” gumam Rovan.
“Kupikir sih, belum…” tanggap Reis. “Apa sih…yang belum kita lakukan untuk mencegah pelaku…?”
Tiba-tiba saja, 4 menit setelah itu, Rovan berlari keluar kuil.
“HEI ROVAN!! KENAPA?!” teriak Shisio.
“Ada yang belum kita lakukan…itu dia…”
“Apa…?” tanya Reis.
“Kalian tidak ingat ya?! Orang yang berasal dari kelas D selain Hoshizora…!! Kita tinggalkan dia tanpa penjagaan!!!” jelas Rovan. “Dia pasti…sudah akan dibunuh sekarang!!”
“…!!!”
“Maksudmu…Rikku?!” tanya Shisio
“Sudahlah…ayo cepat cari dia…sebelum terbunuh…”
Mereka bertiga pun berlari keluar kuil…
Sementara itu, di saat yang sama, di sekitar Sanzobaraku Hill. Banyak dedaunan tertiup angin musim dingin.
Saat itu, Rikku sedang berjalan-jalan menikmati angin sore. Ia akan menuju ke rumah sakit tempat Eari dirawat.
“…huff…” Ia menghela napas panjang. “Coba kalau Eari tidak apa-apa, kita udah jalan bareng lagi disini…”
Dari hadapan Rikku, datang seseorang, memakai tundung hitam dan membawa sebuah paku raksasa tepat di depannya.
“…?!” Rikku berusaha mundur. “…Bukannya kau mengincar Ame?!”
“…………………” Orang bertundung itu kembali mendekati Rikku.
“…Jawab aku…, siapa kau sebenarnya…?” tanya Rikku, yang terus berusaha mundur dari jarak serang orang itu.
“Kau…korban ke-15…………” ucapnya. “Kau………seorang ‘harmonia’…”
“Harmonia? Jadi, kau mengincar pemilik Harmonia?!”
“…………hentikan ocehanmu…, Rikku Shaolee…”
“Kau tahu namaku kan, jadi…SIAPA KAU?!”
“…………………takdirmu adalah…, mati ditangan telekinesis milikku…”
“……….Persona…!!”
“…Percuma…” ucapnya sedingin es. “Kau…sudah mati…”
Sementara itu, ketiga orang masih mencari keberadaan Rikku. Mereka sudah berusaha secepat mungkin dengan kemampuan teleportasi milik Rovan.
“Bagaimana kalau…Sanzobaraku Hill? Rikku kan sering menjenguk Eari!” usul Shisio.
“Baiklah…” Rovan menteleport mereka ke Sanzobaraku Hill.
“Dimana dia?!” raung Reis. “Jangan sampai dia seperti Karin!!”
“Ah…, itu…” Shisio menunjuk sebuah pohon.
…Sayangnya, mereka sudah terlambat, mereka hanya bisa melihat Rikku dengan 15 buah paku raksasa yang tertancap di sekujur tubuhnya. Ia ditancapkan di sebuah pohon besar, yang mudah dilihat orang banyak.
“…Sial!!” ucap Shisio geram. “Kita terlambat lagi…!”
Dengan anehnya, mayat itu menghilang di hadapan mereka bertiga seperti kertas yang terbakar…
“Dia…hilang…” ucap Rovan. “Tanpa bekas…”
“Aku akan lapor ke Maki soal ini, Rovan, coba beritakan ke Camisee, Ame dan Michi…, Shisio, kau panggil Dachi…” perintah Reis.
Usaha mereka gagal, satu korban lagi muncul. Menambah daftar panjang kasus pembunuhan ini. Sudah 15 korban berjatuhan, dan tidak ada satu bekas pun tertinggal di dalam TKP…
“Ada apa memanggilku, Reis?” Dachi muncul dengan teleportasi milik Hime.
“Korban ke 14…, maksudku, Karin…” ucap Reis. “Apa dia juga…, ditancapkan 14 paku?”
“Iya…” jawab Dachi. “Dan mayatnya menghilang…”
“Maaf, kami tidak bisa melindungimu, Rikku…”
Kouya dan Seiji juga datang ke TKP, mereka dipanggil oleh Rovan.
“…Korban ke-15…” kata Seiji datar.
“Dia tidak dekat dengan Karin.” simpul Kouya.
“…Yah, Rikku kan TEMAN DEKAT Karin…” jelas Reis. “Aku baru ingat itu tadi…”
“Korban berikutnya bisa diperkirakan… Camisee.” ucap Shisio.
“…mungkin…?” desah Reis putus asa. “Aku…tidak yakin…”
“Tidak ada salahnya kalau kita coba…” ucap Kouya. “Kita mungkin bisa menerka si pelaku…”
“…Yah…” Rovan menghela napas panjang. “Ayo kita coba lagi…”
Korban ke-15 telah jatuh…, kali ini adalah Rikku Shaolee. Seseorang yang juga mengikuti alur melodi ‘permainan’ ini perlahan dari belakang…
------------------------------------------------------------------------------------
Momoyuki_Kimihara- Member
- Posts : 5173
Points : 5235
Join date : 2009-07-31
Age : 28
Location : Bekasi the head of Bokerville, inside PandoraWCHQ
Character Bio
Character Name: Selena Stray
Status: Chain
Job: Illegal Chain
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum